Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Penyelamat Rezeki di Kala Terjadi Pandemi

Lilik Darmawan
29/12/2020 07:49
Penyelamat Rezeki di Kala Terjadi Pandemi
Kesibukan perajin gula kristal di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di tengah pandemi covid-19 permintaan terus meningkat.(MI/Lilik Darmawan)

HARI masih gelap ketika, Radikin, 41, warga Desa Semedo, Kecamatan  Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) keluar rumah. Dengan membawa pongkor atau tempat hasil sadapan nira kelapa, dia berjalan menembus kabut yang menyelimuti pepohonan wilayah perbukitan Semedo. Ia kemudian memanjat pohon kelapa dengan ketinggiannya bisa sampai belasan meter. Di pinggangnya terikat empat pongkor untuk mengganti yang dipasang hari sebelumnya. Tak sampai 15 menit, dia sudah turun ke bawah. Dan beranjak ke pohon lainnya hingga puluhan pohon, bahkan bisa sampai 30 pohon. 

Ketika pulang ke rumah, dia telah membawa pongkor yang berisi air nira kelapa sebagai bahan baku pembuatan gula. Sudah lebih dari 20 tahun, Radikin menjalani profesinya sebagai petani penderes. Radikin merupakan satu dari ratusan petanbi penderes di desa serempat. Ketua Kelompok Petani Penderes Margo Mulyo, Sigit Nugroho Widi mengatakan sebagian besar warga di desa setempat hidup sebagai sebagai penderes. 

"Setiap harinya, mereka memanjat pohon kelapa untuk mendapatkan air nira. Nantinya, air nira dijadikan bahan untuk pembuatan gula. Kalau dulu hanya sebatas gula merah cetak, tetapi sekarang sudah memproduksi gula kristal. Di tingkat petani, harga gula semut mencapai Rp20.500 hingga Rp21 ribu per kilogram (kg). Rata-rata petani mampu menghasilkan antara hingga 5-7 kg setiap harinya, tergantung kondisi musim dan cuaca," jelas Sigit kepada mediaindonesia.com pada Senin (28/12).

Ketika masuk bulan ketiga pada 2020, ia bersama petani lainnya cukup gundah, karena adanya pandemi Covid-19 yang terjadi. Ada bayangan pasar yang lesu dan masyarakat tidak bisa lagi memasarkan produk gula. Tetapi, di saat usaha-usaha bidang lain mengalami kemerosotan dan lesu, ternyata pasar gula kristal tetap saja berkibar. 

"Ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Justru sebaliknya, pasar gula semut tetap terbuka, malah di beberapa bulan tertentu mengalami peningkatan drastis. Jadi, kalau ditanya, apakah pandemi berpengaruh atau tidak? Warga di sini akan menjawab, tidak," ungkapnya.

Hal itu juga diakui oleh Ketua Kelompok Petani Penderes Mugi Lestari, Kusmono Hardi Sumaryo. Ia menambahkan sampai sekarang, kelompoknya sama sekali tidak masalah dengan pemasaran. 

"Justru dalam kondisi pandemi seperti sekarang, pasarnya bagus. Sehingga usaha yang kami geluti benar-benar menjadi tulang punggung ketika kondisi ekonomi tengah terpuruk seperti sekarang," jelasnya.

Pasar yang terbuka, lanjut Kusmono, adalah pasar ekspor. Bahkan ada bulan-bulan yang pesanannya cukup tinggi. 

"Para petani juga tidak masalah dengan pekerjaan sehari-harinya. Mereka bekerja sendiri atau dengan keluarga. Misalnya memanjat pohon kan sendiri, kemudian mengolah nira menjadi gula semut juga hanya bareng keluarga. Jadi, aman dari Covid-19," katanya.

Para petani merasa beruntung karena ada kelompok sehingga jejaring pemasaran juga bisa tercipta sampai sekarang. Kelompok ini merupakan bagian dari gerakan di Kampung Berseri Astra (KBA) Banyumas Satria. Programnya ada di sejumlah desa di antaranya adalah Desa Semedo, Cibangkong dan Petahunan di Kecamatan Pekuncen serta Desa Kedungurang, Kecamatan Gumelar. Gerakan kewirausahaan sosial ini ternyata kuat menghadapi pandemi yang berdampak besar bagi sebagian usaha dan industri.

Pesanan Melonjak

Inisiator gerakan dan juga Koordinator KBA Banyumas Satria, Akhmad Sobirin, mengatakan gula kristal atau gula semut hasil produksi dari kelompok-kelompok petani penderes masih tetap dapat dipasarkan, meski pandemi masih terjadi. 

"Memang, tidak dapat dipungkiri jika pada saat pandemi banyak perusahaan yang terpengaruh, bahkan terpuruk. Namun, perajin gula semut justru sebaliknya. Pesanan gula kristal malah mengalami peningkatan cukup signifikan," kata Sobirin yang meraih penghargaan Satu Indonesia Award 2016 bidang Kewirausahaan.

Ia menjelaskan sebelum pandemi, produksi gula semut dari berbagai kelompok tani yang masuk jejaring KBA Banyumas Satria memproduksi 10-12 ton setiap bulannya. Begitu masuk masa pandemi, melonjak hingga 50 ton. 

"Pemasaran hingga 50 ton terjadi mulai bulan Juli, Agustus dan September. Sedangkan sejak Oktober hingga kini, per bulan mencapai 20-30 ton. Semua produk gula semut dari sini diekspor ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa," ujarnya.

Sobirin mengatakan produksi memang mengalami peningkatan, apalagi setelah ada pembentukan KBA Banyumas Satria yang dimulai sejak tahun 2018 lalu. 

"Saat sekarang, rata-rata petani mampu memproduksi 5-7 kg setiap harinya dengan harga Rp21 ribu per kg. Dengan demikian, setiap harinya minimal mendapat Rp100 ribu setiap harinya. Pendapatan itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada saat mereka hanya memproduksi gula merah,”kata Sobirin yang mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah seperti pemuda pelopor dan kelompok tani berprestasi.

Alumunus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang pulang kampung  itu memulai kewirausahaan tahun 2012. Kini, dia terus mengedukasi kepada para petani penderes, salah satunya adalah sertifikasi. Dengan mengantongi sertifikasi, maka produknya bisa tembus ke manca negara. Hingga kini, proses sertifikasi terus didorong untuk memastikan produk bisa diterima di pasar internasional. 

"Kami juga masih tetap menjual produk ke pasar lokal melalui pasar daring. Nama yang dipakai adalah Semedo Manise. Kami menyediakan beragam varian, seperti gula semut rempah organik, daun sirsak, jahe kayu manis, kunit, temulawak dan lainnya. Alhamdulillah, pasar cukup bagus menerimanya," jelasnya.

Gerakan kewirausahaan yang bergulir benar-benar telah mengubah kehidupan warga desa. Pada awalnya, ketika masih memproduksi gula merah, kebanyakan mereka terjerat tengkulak. Sehingga harganya juga bisa sangat rendah akibat ketergantungan. Biasanya, seorang penderes akan mengutang dari seorang tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nantinya, utangnya dibayar dengan gula merah hasil produksi mereka dengan harga yang telah ditentukan tengkulak. 

Sehingga, penderes betul-betul terjepit dan tak punya pilihan lain. Seiring dengan waktu dan perubahan produksi dari gula merah ke gula semut, maka pelan-pelan mereka terbebas dari tengkulak. Kini, setiap kelompok mengelola simpan pinjam bagi anggotanya. Tak heran jika kemudian penderes yang sebelumnya tak pernah membayangkan menguliahkan anaknya, kini menjadi kenyataan. Karsini, 55, misalnya mampu menguliahkan anaknya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

baca juga: Rumah Baru untuk Keluarga Gabriel Bria

"Saya memulai mengikuti Mas Sobirin tahun 2012 dengan memproduksi gula semut. Di tahun 2012, gula merah cetak harganya hanya Rp7 ribu per kg, tetapi ketika saya beralih membuat gula semut, harganya  jauh lebih tinggi yakni Rp11 ribu per kg. Alhamdulillah, saya akhirnya bisa terlepas dari tengkulak dan mampu menguliahkan anak," ungkapnya.

Gerakan kewirausahaan di KBA Banyumas Satria tidak hanya mengangkat petani penderes dari keterpurukan, namun juga melepaskan dari kerat  tengkulak. Bahkan, dalam kondisi pandemi, telah dibuktikan bahwa usaha gula semut tetap eksis, bahkan meningkat pesanannya. Sebuah anomali di kala pandemi yang justru mendatangkan lebih banyak rezeki.  (OL-3)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya