Headline

DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Keanggotaan Indonesia di OECD Berpeluang Pacu Pertumbuhan Ekonomi

M Ilham Ramadhan Avisena
01/8/2025 03:09
Keanggotaan Indonesia di OECD Berpeluang Pacu Pertumbuhan Ekonomi
Kesibukan aktifitas bongkar muat kontainer di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta.(MI/Usman Iskandar)

INISIATIF keanggotaan Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dinilai penting karena membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui keanggotaan tersebut, Indonesia diharapkan dapat mengurangi hambatan non-tarif atau non tariff measures (NTM), memperluas akses pasar, dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan keberlanjutan, yang merupakan kunci utama untuk memperluas akses pasar ke Eropa.

Saat ini, Indonesia adalah kandidat resmi. Jika berhasil, Indonesia akan menjadi negara ASEAN pertama yang bergabung dengan OECD.

"Keanggotaan Indonesia dalam keanggotaan OECD sangat penting. Namun dibutuhkan adanya penyesuaian regulasi nasional, termasuk di bidang perdagangan dan keberlanjutan. Dalam aspek perdagangan, regulasi seperti hambatan non-tarif perlu ditinjau kembali, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Eropa," jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran, Kamis (31/7). 

Bergabungnya Indonesia dengan OECD membuka jalur strategis untuk mempercepat transformasi ekonomi. Berbagai penyesuaian, sebagai konsekuensi dari bergabungnya Indonesia ke OECD, merupakan bentuk adaptasi Indonesia dengan standar OECD. Hal itu juga memungkinkan Indonesia untuk mencapai kemajuan dengan praktik terbaik global, menarik investasi dan meningkatkan konsistensi regulasi di sektor utama.

Pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 0,78 poin persentase lebih tinggi dalam jangka pendek (2028-2030) dan 0,92 poin persentase lebih tinggi dalam jangka menengah (2031-2035) dibandingkan skenario tanpa aksesinya ke OECD.

Negara-negara seperti Meksiko, Kosta Rika dan Kolombia telah menunjukkan keanggotaan mereka meningkatkan kualitas kebijakan dan kinerja ekonomi secara signifikan. Meksiko, misalnya, sebelum bergabung dengan OECD menerima Foreign Direct Investment (FDI) sebesar US$4,3 miliar pada 1992. Namun setelah resmi menjadi anggota OECD pada 1994, FDI yang masuk ke negara itu meningkat menjadi US$11,6 miliar. 

Hal serupa juga terjadi pada Kosta Rika yang bergabung dengan OECD pada tahun 2021. Negara tersebut mengalami peningkatan FDI dari US$3,5 miliar pada 2021 menjadi US$4,6 miliar pada 2023.

Indonesia dapat mereplikasi keberhasilan ini dengan mereformasi hal-hal yang diperlukan dan memanfaatkan keanggotaan OECD sebagai katalisator pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.

Saat ini, ekspor Indonesia ke pasar OECD menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu, struktur ekspor masih didominasi oleh sektor-sektor ekstraktif, seperti energi dan mineral. Sementara sektor non-ekstraktif, misalnya manufaktur dengan produk seperti alas kaki dan tekstil, justru stagnan dan belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.

Beberapa faktor penyebabnya adalah tingginya tingkat persaingan di pasar Eropa, dengan efisiensi produksi menjadi kunci daya saing. Di samping itu, pasar OECD yang sebagian besar terdiri dari negara-negara Uni Eropa sangat menekankan pada aspek keberlanjutan dan lingkungan, yang menjadi tantangan tersendiri bagi produk-produk Indonesia untuk bisa menembus pasar tersebut.

Hasran melanjutkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di antara 5% dan 6% selama dua dekade terakhir, berdasarkan data Bank Dunia pada 2023 lalu. Untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan, dibutuhkan peningkatan produktivitas. Namun, antara tahun 2005 dan 2019, pertumbuhan produktivitas faktor total (TPF) Indonesia negatif, dengan rata-rata -0,7%. 

Menurunnya produktivitas itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya kualitas sumber daya manusia, regulasi yang restriktif, lemahnya kerangka kelembagaan, dan masih terbatasnya kapasitas inovasi.

Tingkat produktivitas Indonesia tidak hanya tertinggal dari negara-negara besar, seperti Tiongkok dan India, tetapi juga negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. 

Basis ekspor Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada sumber daya alam seperti batu bara dan minyak sawit. Meskipun komoditas ini terus memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, ketahanan jangka panjang akan membutuhkan penekanan yang lebih besar pada pemrosesan hilir dan nilai tambah dari sumber daya alam.

"Masih terdapat potensi yang belum dimanfaatkan di sektor-sektor lain, seperti elektronik, komponen otomotif, dan farmasi. Untuk memaksimalkan potensinya, para pelaku usaha nutuh regulasi yang sederhana, memperkuat sumber daya manusia, berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan, serta memperluas kerja sama internasional," terang Hasran.

Untuk memastikan melancarkan aksesi Indonesia sebagai anggota OECD, Penelitian CIPS mengenai OECD merekomendasikan beberapa hal. Yang pertama adalah reformasi regulasi. Reformasi regulasi dibutuhkan untuk menyelaraskan regulasi Indonesia dengan standar OECD.

Meskipun sebagian besar regulasi Indonesia di bidang-bidang ini sebagian sesuai dengan instrumen OECD, beberapa perubahan penting pada legislasi akan membantu proses aksesi.

Kedua, Indonesia direkomendasikan untuk merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No 8/1999). Meskipun telah mengakomodasi beberapa ketentuan dalam instrumen hukum OECD, UU tersebut tidak memasukkan perlindungan konsumen anak atau perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik.

Selanjutnya, Indonesia direkomendasikan untuk mengurangi hambatan non-tarif untuk membantu menurunkan biaya kepatuhan terkait perdagangan, khususnya di sektor-sektor yang terkait erat dengan ekspor dan integrasi rantai pasok.

Indonesia direkomendasikan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang mendorong efisiensi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini sudah sejak lama disebut dapat mengurangi daya saing pada industri berorientasi ekspor.

"Bergantung hanya pada satu pasar saja pada situasi ekonomi yang rentan seperti saat ini tidak bijaksana. Namun pemerintah juga harus siap pada berbagai bentuk penyesuaian yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan industri dalam negeri," pungkas Hasran. (Mir/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya