Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

NTT Mulai Menabur Benih dari Lahan Sendiri

Palce Amalo
27/11/2020 21:20
NTT Mulai Menabur Benih dari Lahan Sendiri
Christofel Ullu, Ketua Kelompok Tani Kaifo Ingu di Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT mulai gunakan benih hasil penakar NTT.(MI/Palce Amalo)

DINAS Pertanian dan Perkebunan Nusa Tenggara Timur (NTT) membuat terobosan dengan penakaran benih lokal. Mulai sekarang, tidak ada lagi pengadaan benih pertanian dari luar provinsi.

Semua benih harus berasal dari hasil kebun masyarakat setempat. Dengan demikian, anggaran pengadaan benih yang saban tahun mencapai ratusan miliar rupiah, dialihkan untuk membangun ekonomi masyarakat di bidang lain.

"Mengapa harus benih lokal, karena sudah mengalami adaptasi terhadap lingkungan," kata Kadis Pertanian dan Perkebunan NTT Lecky Frederich Koli, Jumat (27/11).

Benih lokal memiliki adaptasi terhadap suhu di NTT yang umumnya berkisar 22-32 derajat celcius, hama, dan persediaan air yang minim. Pengadaan benih berimplikasi terhadap capital flight yang seharusnya bisa dihindari.

Dengan mengandalkan benih dari luar daerah pun tak jarang berdampak hukum karena benih tiba dalam kondisi rusak dan juga musim tanam petani sudah lewat. Jika benih tersebut dipaksakan tanam, akan terjadi gagal tumbuh dan panen. "Makanya gubernur selalu omong, kita terus menanam tetapi tidak pernah panen," tandasnya.

Oleh karena itu, dinas pertanian kabupaten dan kota sudah diserahi tugas, sebelum musim tanam tiba, benih sudah ada di petani. Sedikitnya 70 penangkar sedang bekerja menyiapkan berbagai jenis benih sejak awal tahun ini. Untuk benih yang akan ditanam di musim hujan seperti saat ini, diproduksi di musim kemarau. Sebaliknya, benih untuk kebutuhan di musim kemarau, disiapkan di musim hujan.

Atas kesadaran itu, pilihan melakukan kemandirian benih tidak bisa ditawar lagi agar masyarakat mendapatkan yang terbaik dari hasil pertanian mereka.

Kemandirian benih juga demi meningkatkan daya saing produk pertanian di pasaran. Dia mencontohkan harga bawang putih impor di pasar tradisonal
lebih murah dari harga bawang merah produksi petani lokal.

Itu terjadi karena aplikasi sarana produksi yang tidak proporsional. Satu item seperti pemakaian pupuk, kebutuhan pupuk hanya 50 kilogram tetapi petani membeli 150 kilogram. Ada beban tambahan 100 kilogram itulah yang memengaruhi harga jual bawang.

Untuk itu, dinas pertanian sedang menyiapkan big data yang mengatur mengenai pemakaian sarana produksi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kawasan pertanian. Tidak boleh menyeragamkan pemanfaatan sarana produksi lantaran varian struktur tanah antarkabupaten bahkan desa berbeda-beda. Jika produksi pertanian sudah mengunakan sumber daya yang efisien, produk yang dihasilkan akan bersaing di pasaran.

Inti dari semua itu ialah membangun ketahanan pangan masyarakat. Menurut Lecky, mengunakan komoditas yang ramah terhadap lingkungan. "Pembangunan
pertanian mesti menemukan inovasi baru menuju efisiensi untuk menghasilkan produk yang lebih signifikan dari sisi kapasitas produksi," terangnya.

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat menyebutkan pembangunan di daerah itu sedang didesain kembali dengan benar disemua sektor, seperti disektor pertanian mulai dari penyiapan benih, pengolahan lahan, anggaran, penanaman, perawatan, panen dan pemasaran.

Bagi Viktor, pembangunan daerah tidak boleh dilakukan dengan cara lama yang hasilnya tidak maksimal, namun dengan inovasi dan kreatif mengelola sumber daya yang ada, termasuk peningkatan sumber daya manusia. "Kalau mau maju, ciptakan cara kerja yang inovatif dan kreatif," tandasnya.

Di bidang peternakan misalnya, NTT berupaya menekan impor pakan dengan membangun pakan sendiri. Jika sudah mampu menghasilkan pakan sendiri, harga ayam akan turun.

Saat ini harga ayam pedaging di pasar sebesar Rp45 ribu per kilogram, turun seperti harga daging ayam di Jawa sebesar Rp32 ribu per kilogram. Begitu juga harga telur ayam di Kota Kupang antara sebesar  Rp2.500-Rp3.000 per butir, dibandingkan harga telur di Jawa sebesar Rp1.000 per butir.

Lebih dari itu, sudah seharusnya pemerintah daerah memikirkan bagaimana pemberdayaan ekonomi masyarakat sehingga tidak terus-menerus berharap uluran tangan dari luar daerah dan pemerintah pusat.

"Karena kebiasaan yang sekian lama dipelihara itu, kadang kita harus keras ke kabupaten harus menyiapkan benih. Bayangkan, apa yang anda makan ditentukan oleh orang lain," tambah Lecky Frederich Koli. (OL-13)

Baca Juga: Kemendikbud Kenalkan Potensi Rempah-Rempah pada Anak Muda



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik