Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
AKSI tawuran masih terus terjadi di wilayah DKI Jakarta. Seperti di bulan Ramadan ini, banyak remaja-remaja tanggung yang melakukan konvoi dengan dalih bagi-bagi takjil jelang berbuka puasa, namun malah mencari lawan untuk melakukan tawuran.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati, aksi tawuran yang sering terjadi belakangan ini disebabkan oleh kondisi emosional dari anak-anak dan remaja yang cenderung masih tinggi. Ditambah lagi, pertumbuhan otak dari para remaja tersebut juga belum cukup sempurna.
"Anak-anak dan remaja itu punya potensi untuk bergesekan karena memang mereka kemampuan otaknya itu baru tumbuh sempurna di atas 24 tahun. Jadi dibawah itu mereka akan menggunakan emosi sebagai setir dari kehidupan mereka ketika menghadapi persoalan, sehingga konflik sosial mudah terjadi karena gesekan emosi tadi," kata Devie saat dihubungi, Selasa (2/4).
Baca juga : Polda Metro Jaya Akan Tindak Remaja yang Konvoi Mengganggu Ketertiban
Selain masalah emosional, kata Devie, permasalahan tawuran tersebut juga terjadi akibat pola asuh modern yang ada saat ini. Menurutnya, masih banyak orang tua yang terlalu memberikan kebebasan serta memfasilitasi apapun kepada anak-anaknya. Sehingga, anak atau remaja tersebut dapat melakukan hal apapun karena tidak adanya pengawasan dari orang tua.
"Seperti halnya orang tua yang memfasilitasi anaknya kendaraan bermotor namun anak tersebut belum punya SIM. Tentunya hal itu membuat jangkauan dan sumber daya mereka semakin besar untuk kemudian berkumpul-kumpul yang berpotensi berujung pada gesekan sosial," ujarnya.
Oleh karena itu, Devie mendorong agar para orang tua dapat memberikan pengawasan dan tidak memberikan fasilitas berlebih terhadap anak-anaknya. Bahkan, ia mendorong agar ada denda untuk para orang tua jika anak-anaknya melakukan kegiatan yang melanggar hukum.
"Kita harus sadar bukan anak-anak yang salah, yang salah itu orang tuanya dan itu harus dihukum. Karena anak itu tidak bisa memahami hal tersebut, secara alami remaja itu baru bisa berpikir diatas 24 tahun. Jadi dari orang rumah itu harus bekerja sama dengan baik memastikan anak-anaknya berkegiatan dengan baik dan produktif," tuturnya. (Fik/Z-7)
Angka prevalensi jerawat 85% pada orang dewasa muda berusia 12–25 tahun. Karenanya, orangtua harus bisa memberikan solusi terbaik untuk menuntaskan masalah jerawat pada para remaja.
Skoliosis merupakan kelainan pada bentuk tulang belakang yang tumbuh ke samping menyerupai huruf C atau S.
Ada 5 gejala skoliosis yang wajib diketahui para orang tua agar dapat ditangani sedini mungkin.
Sejak diperkenalkannya vaksin HPV di Amerika Serikat pada 2006, terjadi penurunan signifikan infeksi HPV dan pra-kanker serviks pada remaja dan perempuan dewasa muda.
Remaja perempuan yang potensial perlu mempersiapkan diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa kini.
Perfeksionisme pada remaja perempuan sering kali mengakibatkan stres, tekanan berlebihan, dan keterbatasan dalam kreativitas.
Teknik distraksi diklaim bisa digunakan seseorang untuk mengontrol emosinya agar tidak menimbulkan bahaya bagi dirinya maupun orang lain.
alah satu alasan anak mengalami tantrum yakni kesulitan mengekspresikan keinginannya
Mengajarkan kesabaran kepada anak adalah proses yang penting dalam perkembangan emosional dan sosial mereka.
Survei bertajuk "Mindful Eating Study" yang dilakukan pada 1.158 responden dari 20 provinsi mengungkapkan 47% atau 5 dari 10 orang Indonesia memiliki perilaku emotional eater.
Ketika sistem penciuman mendeteksi suatu aroma, sistem ini mengirimkan sinyal ke sistem limbik, yang kemudian menimbulkan respons emosional berdasarkan pengalaman masa lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved