Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
KEMAMPUAN kecerdasan buatan (AI) kembali mengejutkan dunia. Dalam sebuah studi terbaru, para ilmuwan mengklaim AI kini mampu memahami emosi manusia lebih baik daripada manusia itu sendiri.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Communications Psychology ini dilakukan para peneliti dari University of Geneva (UNIGE) dan University of Bern (UniBE). Mereka menguji sejumlah model bahasa besar (Large Language Models/LLMs)—termasuk ChatGPT-4, ChatGPT-o1, Gemini 1.5 Flash, Claude 3.5 Haiku, Copilot 365, dan DeepSeek V3—menggunakan serangkaian tes kecerdasan emosional (Emotional Intelligence/EI) yang umum digunakan, seperti STEM, STEU, GEMOK-Blends, serta GECo Regulation dan Management.
Hasilnya mengejutkan. AI berhasil memilih respons “terbaik” dalam skenario emosional sebanyak 81% dari waktu—berdasarkan konsensus pakar psikologi—dibandingkan dengan rata-rata manusia yang hanya mencapai 56%.
Tak hanya itu, saat diminta menyusun soal EI baru, respons dari ChatGPT dinilai para penilai manusia setara dengan soal asli baik dari tingkat kesulitan maupun orisinalitas. Kecocokan antara soal buatan AI dan soal asli tercatat memiliki koefisien korelasi sebesar 0,46, yang menunjukkan hubungan yang cukup kuat.
Meski hasilnya mengesankan, sejumlah pakar memperingatkan agar tidak serta-merta menyimpulkan AI benar-benar memahami emosi manusia secara mendalam.
Para ahli yang diwawancarai Live Science mengingatkan semua tes yang digunakan bersifat pilihan ganda. Sesuatu yang jauh dari kompleksitas dunia nyata di mana emosi manusia kerap muncul dalam situasi kacau, penuh tekanan, dan sulit diprediksi.
“Manusia saja sering kali tidak sepakat tentang perasaan orang lain, bahkan psikolog pun bisa menafsirkan sinyal emosi secara berbeda,” kata Taimur Ijlal, pakar keamanan informasi di industri keuangan.
“Jadi, ketika AI ‘mengalahkan’ manusia dalam tes ini, itu lebih menunjukkan kemampuan AI dalam memilih jawaban yang paling mungkin benar secara statistik, bukan berarti ia memiliki pemahaman emosional yang lebih dalam.”
Nauman Jaffar, pendiri CliniScripts—alat dokumentasi berbasis AI untuk profesional kesehatan mental—menambahkan yang sedang diuji bukanlah kecerdasan emosional sejati, melainkan kemampuan pengenalan pola. “AI memang sangat unggul dalam mengenali pola-pola emosional, seperti ekspresi wajah atau sinyal bahasa. Tapi menyamakan itu dengan pemahaman emosi manusia bisa menyesatkan.”
Jason Hennessey, CEO Hennessey Digital, membandingkan penelitian ini dengan tes “Reading the Mind in the Eyes” yang sering digunakan untuk mengukur persepsi emosional seseorang. Namun, kata Hennessey, ketika variabel kecil seperti pencahayaan atau konteks budaya berubah, tingkat akurasi AI bisa langsung menurun drastis.
Wyatt Mayham, pendiri Northwest IT Consulting, juga menyuarakan skeptisisme serupa. “Mungkin benar bahwa LLM (model bahasa besar) bisa membantu mengklasifikasikan respons emosional umum. Tapi menyimpulkan AI sebagai 'lebih paham emosi' hanya karena nilai kuisnya bagus, sama seperti menyebut seseorang sebagai terapis hebat karena menang kuis BuzzFeed bertema emosi.”
Meski banyak kritik, ada satu contoh dunia nyata di mana AI benar-benar unggul dalam merespons emosi. Aílton, asisten percakapan berbasis WhatsApp yang digunakan oleh lebih dari 6.000 sopir truk di Brasil.
Dikembangkan HAL-AI, Aílton mampu mengenali stres, kemarahan, atau kesedihan dengan akurasi hingga 80%—sekitar 20% lebih tinggi dibandingkan rekan manusia dalam konteks yang sama.
Dalam satu kejadian, Aílton berhasil merespons cepat dan tepat ketika seorang sopir mengirim pesan suara penuh kepanikan pasca kecelakaan fatal yang menimpa rekannya. Aílton menyampaikan belasungkawa dengan nada empatik, menawarkan bantuan kesehatan mental, dan secara otomatis menghubungi manajer armada.
“Benar bahwa tes pilihan ganda memang menyederhanakan pengenalan emosi,” ujar Marcos Alves, CEO dan Kepala Ilmuwan HAL-AI. “Namun memisahkan lapisan kognitif dari konteks emosional bisa berguna. Ini membantu kita melihat apakah AI dapat mengenali isyarat emosional sebelum terganggu oleh situasi.”
Menurut Alves, kemampuan AI menyerap miliaran kalimat dan ribuan jam audio percakapan memungkinkan sistem tersebut menangkap intonasi mikro—isyarat emosional halus yang sering kali terlewat oleh manusia.
“Lingkungan lab memang terbatas,” katanya. “Namun data WhatsApp kami menunjukkan AI modern sudah mampu mendeteksi dan merespons emosi dengan lebih baik dari rata-rata manusia. Ini membuka pintu bagi empati yang bisa diskalakan.” (Live Science/Z-2)
Studi terbaru di Korea Selatan menunjukkan jam kerja panjang dapat mengubah struktur otak, terutama pada area yang mengatur emosi dan fungsi kognitif.
AKTRIS Luna Maya dikabarkan akan segera menikah dengan aktor Maxime Bouttier pada Rabu (7/5) di Ubud, Bali. Selebriti Melaney Ricardo berpesan kepada Luna untuk tidak stres
Gutomo Edi Saputra bertanggungjawab atas kematian Anggi Anggara dalam sebuah pertengkaran di Pasar Angso Duo, Kota Jambi. Ia mengabisi lawannya dengan sebilah pisau pemotong pempek
Pelajari seni kalimat persuasif! Kuasai teknik meyakinkan, mempengaruhi, dan menginspirasi orang lain dengan kata-kata yang tepat dan efektif.
Regene Genomics menghadirkan Tes DNA EMO-Q yang bisa mendeteksi hubungan dan emosional pasangan untuk mendapatkan hubungan yang lebih sehat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved