Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

AS Berlakukan Tarif Produk India 50%

Dhika Kusuma Winata
27/8/2025 21:59
AS Berlakukan Tarif Produk India 50%
Ilustrasi.(AFP/SAJJAD HUSSAIN)

AMERIKA Serikat (AS) resmi memberlakukan tarif baru sebesar 50 persen terhadap sejumlah besar produk asal India mulai Rabu (27/8). Kebijakan itu diambil Presiden AS Donald Trump sebagai langkah untuk menghukum New Delhi yang tetap membeli minyak dari Rusia.

Minyak disebut-sebut menjadi salah satu sumber utama pendanaan perang Rusia di Ukraina. Langkah AS tersebut menambah tekanan dalam hubungan Washington dan New Delhi, bahkan memunculkan spekulasi India bisa terdorong mempererat kedekatan dengan Tiongkok sebagai sekutu non-Barat.

Trump sebelumnya telah menaikkan tarif terhadap berbagai negara maupun pesaing sejak kembali ke Gedung Putih awal tahun ini. Tarif 50% terhadap India dinilai sebagai salah satu yang paling tinggi di antara mitra dagang AS.

Namun, kebijakan tersebut masih memberikan pengecualian untuk sejumlah sektor strategis yang kemungkinan akan dikenai bea tambahan secara terpisah seperti farmasi, semikonduktor, dan ponsel pintar.

Adapun produk baja, aluminium, dan otomotif yang selama ini sudah menjadi sasaran tarif khusus juga tidak termasuk dalam cakupan tarif umum kali ini.

Menurut data 2024, Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor terbesar India dengan nilai pengiriman mencapai US$87,3 miliar. Akan tetapi, kalangan analis menilai bea masuk setinggi ini hampir setara dengan embargo dagang dan berpotensi memukul keras perusahaan kecil.

Eksportir tekstil, perhiasan, dan produk perikanan sudah melaporkan pembatalan pesanan dari pembeli di AS, serta mulai kalah bersaing dengan negara tetangga seperti Bangladesh dan Vietnam. Kondisi itu dikhawatirkan akan memicu gelombang pemutusan kerja.

New Delhi dengan tegas mengecam kebijakan Washington tersebut. Pemerintah India menyebut tarif baru sebagai tidak adil, tidak beralasan, dan tidak masuk akal.

PM India Narendra Modi menegaskan akan melindungi kepentingan nasional sekaligus berjanji menurunkan beban pajak masyarakat.

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri India menjelaskan impor minyak Rusia dilakukan karena pasokan tradisional banyak dialihkan ke Eropa sejak invasi Moskow ke Ukraina. India menilai langkah itu semula justru didorong oleh Washington demi menjaga kestabilan pasar energi global.

Pada 2024, hampir 36% impor minyak mentah India berasal dari Rusia. Kebijakan itu membantu India menghemat miliaran dolar biaya impor dan menahan harga bahan bakar di dalam negeri tetap stabil.

Meski begitu, pemerintahan Trump tetap berpegang pada rencana tarif tersebut menjelang tenggat pemberlakuan.

“India tampaknya tidak mau mengakui perannya dalam pertumpahan darah. Negara itu justru semakin dekat dengan Xi Jinping (Presiden Tiongkok),” kata penasihat perdagangan Trump, Peter Navarro.

Wendy Cutler, Wakil Presiden Senior Asia Society Policy Institute sekaligus mantan pejabat perdagangan AS, menilai langkah Trump berpotensi merusak momentum positif yang sempat terbangun.

“Salah satu perkembangan paling mengkhawatirkan dari kebijakan tarif Trump adalah bagaimana India berubah dari kandidat menjanjikan untuk perjanjian dagang awal menjadi negara yang menghadapi salah satu tarif tertinggi yang pernah diberlakukan AS terhadap mitra dagangnya,” katanya.

Cutler menambahkan, India selama ini memang dikenal sulit dalam urusan perdagangan, tetapi belakangan telah menunjukkan upaya reformasi dan keterbukaan.

“Tarif tinggi ini dengan cepat mengikis rasa saling percaya antara kedua negara, dan butuh waktu bertahun-tahun untuk membangunnya kembali,” ujarnya.

Trump menggunakan instrumen tarif bukan hanya untuk menekan praktik dagang yang dianggap tidak adil tetapi juga dinilai sebagai cara menyeimbangkan neraca perdagangan. Pada awal Agustus lalu, bea masuk tinggi mulai berlaku terhadap puluhan negara mulai dari Uni Eropa hingga Indonesia.

Selain India, Brasil juga menjadi target, dengan produk-produknya dikenai tarif hingga 50% meski tetap diberikan sejumlah pengecualian. (AFP/I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya