Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Kritik Pedas Israel, Pelapor Khusus PBB Dapat Pembatalan Jadwal di Swiss

Khoerun Nadif Rahmat
03/7/2025 20:57
Kritik Pedas Israel, Pelapor Khusus PBB Dapat Pembatalan Jadwal di Swiss
Francesca Albanese.(Dok Al-Jazeera)

PELAPOR Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, Francesca Albanese, menghadapi pembatalan mendadak saat dijadwalkan menyampaikan pidato publik di Bern, Swiss. Ini menyusul rilis laporan yang menyoroti keterlibatan korporasi global dalam dugaan genosida di Gaza.

Albanese dijadwalkan berbicara dalam tiga pertemuan di Swiss dimulai dari Universitas Bern pada Senin (30/6) waktu setempat. Namun, izin penyelenggaraan acara tersebut dicabut mendadak oleh pihak kampus. Universitas beralasan keputusan itu diambil karena kurang keseimbangan dalam pandangan pembicara.

Amnesty International, penyelenggara acara yang mengundang Albanese, menilai pencabutan itu merupakan bentuk penyerahan pada tekanan politik eksternal. 

"Tampaknya Universitas Bern tunduk pada tekanan dan mengesampingkan kebebasan berekspresi," ujar juru bicara Amnesty Swiss, Beat Gerber, dikutip dari World Socialist Web Site, Kamis (3/7).

Meskipun dibatalkan di kampus, Albanese tetap berbicara di hadapan sekitar 400 orang di lokasi alternatif pada malam hari yang sama.

Albanese, pakar hukum internasional yang diakui dunia, pada Maret 2024 menyatakan terdapat alasan kuat untuk menduga bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza. 

Dalam laporan lanjutannya bertajuk From Economy of Occupation to Economy of Genocide, ia menyampaikan bukti-bukti keterlibatan perusahaan multinasional dalam menopang pendudukan Israel dan kampanye militernya di Gaza.

Laporan yang akan dipresentasikan di Dewan HAM PBB pada Kamis (3/7) itu menuding keterlibatan perusahaan-perusahaan dari sektor persenjataan, teknologi, konstruksi, jasa keuangan, asuransi, hingga universitas dalam mendukung kebijakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM, termasuk apartheid, pembunuhan di luar proses hukum, pemindahan paksa, dan kelaparan massal.

Menurut laporan tersebut, kompleks industri-militer menjadi tulang punggung ekonomi Israel. Perusahaan seperti Elbit Systems dan Israel Aerospace Industries (IAI), yang merupakan badan usaha milik negara, disebut sebagai penyedia utama senjata bagi militer Israel dan eksportir senjata global.

Amerika Serikat disebut sebagai mitra utama dalam memasok kekuatan militer Israel, terutama melalui program pengadaan jet tempur F-35--program terbesar dalam sejarah--dipimpin Lockheed Martin dan melibatkan lebih dari 1.600 perusahaan dari delapan negara. Jet F-35 dan F-16 yang digunakan Israel dituding menjatuhkan sekitar 85.000 ton bom, menewaskan dan melukai lebih dari 179.000 warga Palestina di Gaza.

Laporan juga mengungkap perusahaan teknologi besar seperti Microsoft, Alphabet (induk Google), Amazon, dan Palantir terlibat dalam proyek-proyek pengawasan dan pengendalian populasi, terutama melalui kemitraan dengan lembaga keamanan Israel. Sistem AI yang dikembangkan perusahaan-perusahaan ini diduga digunakan untuk identifikasi target dalam operasi militer.

Di sisi lain, Universitas Bern bukanlah institusi pertama yang membatalkan acara Albanese. Sebelumnya, Jerman juga menolak penyelenggaraan acara serupa. 

Albanese juga menjadi sasaran kampanye fitnah dari media-media pro-Israel. Surat kabar konservatif Neue Zürcher Zeitung di Swiss menyebutnya sebagai pendukung terorisme. sementara Jüdische Allgemeine menulis tajuk Pertunjukan Mengerikan Francesca Albanese.

Padahal, dukungan bagi Albanese datang dari dalam negeri. Sebanyak 55 mantan diplomat Swiss menandatangani surat terbuka yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Ignazio Cassis. Mereka mengkritik sikap diam pemerintah Swiss atas dugaan kejahatan perang Israel dan menyerukan penghentian kerja sama akademik, militer, serta investasi yang melanggar hukum internasional.

"Rencana Israel untuk mengusir warga sipil Gaza dan mengokupasi ulang wilayah tersebut secara militer adalah bentuk pembersihan etnis dan proses genosida," tulis para mantan duta besar itu.

Laporan Albanese menyatakan bahwa upaya kolonial dan genosida selama ini dimungkinkan dan didorong oleh kepentingan korporasi. Laporan itu juga menyebut bahwa perusahaan-perusahaan besar memetik keuntungan dari perang, termasuk melalui lonjakan belanja militer Israel sebesar 65 persen antara 2023–2024 yang mencapai US$46,5 miliar (sekitar Rp757,95 triliun), salah satu yang tertinggi di dunia secara per kapita.

Bursa Efek Tel Aviv pun mengalami lonjakan nilai sebesar 179 persen, menambahkan nilai pasar sekitar US$157,9 miliar (Rp2.573 triliun).

Ironinya, Swiss yang selama ini dikenal netral, justru mengikuti jejak Tel Aviv dan Washington dalam mendukung operasi militer Israel. Hal ini mengundang sorotan tajam terhadap peran Swiss dalam membungkam suara kritik terhadap genosida di Gaza.

Di akhir laporannya, Albanese menyerukan tindakan hukum internasional terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat. Namun, seruan ini diperkirakan akan diabaikan oleh negara-negara yang semakin enggan mengakui otoritas lembaga-lembaga internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Sebagai catatan, baik Israel maupun Amerika Serikat telah menarik diri dari Dewan HAM PBB awal tahun ini dengan alasan ada bias terhadap Israel. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya