Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BAGI ratusan ribu pelajar setiap tahunnya, visa pelajar AS merupakan tiket emas untuk meraih mimpi menempuh pendidikan atau riset di Amerika Serikat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, visa ini juga berubah menjadi tiket satu arah kembali ke negara asal.
Apalagi sejak pemerintahan Donald Trump gencar mencabut visa dan mendorong akademisi asing keluar dari negeri Paman Sam, baik secara sukarela maupun lewat penahanan.
Sistem visa di Amerika Serikat memang kompleks. Untuk pelajar asing, terdapat tiga jenis visa utama:
Institusi yang ingin menerima pelajar internasional wajib mendapat sertifikasi dari ICE (Immigration and Customs Enforcement) melalui program SEVP (Student and Exchange Visitor Program). Proses ini memungkinkan pemerintah AS memantau pelajar asing secara real-time lewat sistem SEVIS, termasuk informasi alamat dan kemajuan akademik mereka.
Namun, situasi berubah drastis saat administrasi Trump mengancam akan mencabut sertifikasi SEVP dari universitas seperti Harvard jika tidak menyerahkan data disipliner mahasiswa internasional. Jika dicabut, institusi tidak bisa lagi menerima mahasiswa dengan visa F-1, dan mahasiswa yang sudah terdaftar terpaksa harus pindah ke kampus lain.
Pencabutan visa pelajar dapat terjadi karena berbagai alasan: pelanggaran hukum, informasi palsu saat pendaftaran, atau bahkan hanya karena dicurigai membahayakan kebijakan luar negeri AS. Dalam banyak kasus, visa bisa dicabut tanpa tuduhan resmi. Pemerintah hanya perlu menerima "informasi negatif" dari lembaga intelijen atau penegak hukum.
Contoh nyata terjadi pada Rümeysa Öztürk, kandidat doktoral di Tufts University. Ia ditangkap agen federal setelah visanya dicabut. Pemerintah menuduhnya mendukung Hamas, tetapi pengacaranya menyebut Öztürk hanya menyuarakan dukungan terhadap hak-hak warga Palestina.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Sejumlah pelajar asing, termasuk dua aktivis pro-Palestina di Columbia University, Mahmoud Khalil dan Mohsen Madawi, juga menghadapi deportasi meskipun berstatus pemegang green card.
Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa mereka terus memantau pemegang visa. Dalam postingan di media sosial, Departemen Luar Negeri menyebutkan visa bisa dicabut kapan saja jika pemegangnya melanggar hukum AS atau aturan imigrasi.
Bahkan jika visa telah kedaluwarsa, selama status pelajar tetap aktif, hukum AS memperbolehkan mereka tetap tinggal. Namun kini, banyak pelajar menerima email dari Departemen Keamanan Dalam Negeri yang meminta mereka angkat kaki dalam waktu tujuh hari untuk menghindari penangkapan.
“Jangan mencoba bertahan di AS. Pemerintah federal akan menemukan Anda,” bunyi salah satu email, menurut pengacara imigrasi Nicole Micheroni.
Universitas pun sering tidak mendapat pemberitahuan resmi. Beberapa baru mengetahui status mahasiswa mereka dicabut ketika melakukan pemeriksaan rutin di database SEVIS. Ini menunjukkan perubahan besar dari praktik sebelumnya, ketika hanya pejabat sekolah yang berwenang mengajukan pencabutan visa.
Pada awal kampanyenya di tahun 2015, Donald Trump pernah mengatakan, “Jika warga asing kuliah di universitas kita dan ingin tetap tinggal di AS, mereka tidak seharusnya diusir.” Namun satu dekade kemudian, pemerintahannya telah mencabut lebih dari 1.000 visa akademisi asing.
Data dari Departemen Luar Negeri mencatat bahwa jumlah visa pelajar (terutama F-1) sempat meroket hingga mendekati 1 juta pada tahun 2015. Namun sejak itu, jumlahnya menurun tajam. Pandemi Covid-19 memperparah penurunan, dan hingga 2024, jumlah visa yang disetujui masih belum kembali ke angka tertinggi tersebut.
Laporan dari Institute of International Education mengungkap bahwa banyak universitas mengaitkan penurunan jumlah pelajar asing dengan "iklim sosial-politik" yang tidak ramah di era pemerintahan Trump. (CNN/Z-2)
PEMERINTAH Amerika Serikat secara resmi meningkatkan peringatan perjalanan ke Israel menjadi level tertinggi setelah serangkaian serangan rudal Iran kembali
Kapal induk USS Nimitz terpantau meninggalkan perairan Laut Tiongkok Selatan pada Senin. Laporan lain menyebutkan puluhan pesawat militer AS sedang bergerak melintasi Atlantik.
Presiden AS Donald Trump memutuskan meninggalkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 lebih awal pada Senin (17/6) waktu setempat, menyusul memanasnya situasi antara Israel vs Iran.
Vance Luther Boelter didakwa membunuh legislator Melissa Hortman dan penembakan terhadap senator negara bagian Minnesota, John Hoffman.
Presiden Donald Trump yakin Iran akan menyetujui kesepakatan nuklir.
ATLET master Ockben Saor Sinaga akan mewakili Indonesia pada ajang World Police and Fire Games (WPFG) 2025 yang akan berlangsung di Birmingham, Alabama, Amerika Serikat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved