Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
DUA dekade terakhir rasa empati dinilai semakin berkurang. Kesenjangan partisan pada semua isu termasuk dalam analisis Gallup telah melebar.
Beberapa orang berpendapat dalam lanskap yang penuh gejolak dengan perpecahan sosial dan politik ini, Amerika Serikat berada di ambang perang saudara.
Namun, pandangan itu berbeda dengan apa yang ditemukan psikolog sosial Sara Konrath.
Setelah mempelajari dan mencatat penurunan empati kaum muda tahun 1979 dan 2009, Konrath dan rekan penulisnya berhasil memperbaharui penelitian mereka yang diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science.
Baca juga : Khamenei Peringatkan Murka Tuhan jika Iran tidak Membalas Israel
Empati adalah kemampuan untuk merasakan emosi orang lain disertai dengan kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain. Kesadaran ini bukanlah sifat yang tetap.
Tim peneliti menemukan mahasiswa muda Amerika (rata-rata berusia 20 tahun) dan siswa sekolah menengah atas Amerika terlibat dalam pengambilan perspektif dan perhatian empatik pada tingkat yang lebih tinggi, dibandingkan dengan studi tahun-tahun sebelumnya.
Pengambilan perspektif (suatu bentuk empati kognitif) mengukur kemampuan orang untuk membayangkan sudut pandang orang lain, sementara perhatian empatik (suatu bentuk empati emosional) mengukur belas kasih dan perhatian terhadap orang lain. Studi ini berdasarkan data yang dikumpulkan dari tahun 1979 -2018. Analisis tim mencakup seluruh periode tersebut.
Baca juga : Tingkat Kesuburan di AS Mencapai Rekor Terendah pada 2023
Peningkatan empati tersebut dapat dirusak oleh sinisme kita terhadap satu sama lain, menurut Jamil Zaki, seorang profesor psikologi di Universitas Stanford yang juga merupakan direktur Stanford Social Neuroscience Lab.
Orang-orang sering kali percaya "keinginan mereka untuk menciptakan komunitas yang lebih berempati adalah keinginan mereka sendiri" kata Zaki, penulis "The War for Kindness: Building Empathy in a Fractured World."
Konrath menemukan empati mulai bangkit kembali di kalangan anak muda Amerika, para ahli lainnya mengatakan masih ada kebutuhan mendorong percakapan tatap muka yang lebih banyak di semua kelompok umur.
Baca juga : Biden Curi Perhatian di Malam Pertama Konvensi Partai Demokrat
Terkadang orang memiliki persepsi yang tidak akurat tentang apa yang dipikirkan orang lain.
"Itulah sebabnya memperoleh perspektif yang lebih akurat tentang siapa yang ada di sekitar kita saat ini dapat membuat kita lebih berharap tentang bagaimana kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bersama," kata Zaki.
Misalnya, sebagian besar orang Amerika mendukung kebijakan untuk melindungi iklim, tetapi mereka percaya itu adalah pendapat minoritas.
Baca juga : Kebijakan The Fed masih Jadi Faktor Ketidakpastian Ekonomi Global
Harapan yang lebih rendah tentang orang lain juga dapat berubah menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya, kata Zaki, yang penelitiannya menunjukkan temuan itu.
"Siswa yang meremehkan empati teman sebayanya kurang bersedia untuk memulai percakapan dengan orang-orang di kelas mereka kurang bersedia untuk menceritakan perjuangan mereka dan mereka akhirnya menjadi lebih kesepian dan kurang terhubung dari waktu ke waktu," katanya.
Jika kita tidak percaya pada kapasitas empati orang lain, “kita cenderung tidak mau memberi mereka kesempatan dan kita tidak belajar bahwa kita salah sehingga kita akhirnya terpisah dari kehangatan dan kebaikan hati satu sama lain yang sungguh indah,” tegas Zaki.
Meremehkan empati orang lain memicu putusnya hubungan dan renggangnya hubungan dengan mereka yang tidak sependapat dengan kita. "Orang-orang di kedua belah pihak membayangkan bahwa orang-orang di pihak lain penuh kebencian, lebih anti-demokrasi, dan lebih kejam," kata Zaki. "Kita melawan hantu, bukan satu sama lain."
Pemahaman yang salah tentang pandangan orang lain memungkinkan meningkatnya konflik meskipun "konflik sangat tidak populer," kata Zaki. "Intinya, kita semua mendorong diri kita sendiri ke dalam perang budaya yang hampir tidak diinginkan siapa pun karena kita tidak tahu siapa yang kita lawan."
Secara alamiah, manusia membutuhkan kontak langsung dengan orang lain, kata Dr. Edward Brodkin, profesor madya psikiatri di Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania dan direktur program spektrum autisme dewasa di Penn Medicine.
"Di situlah kita dapat terhubung satu sama lain dengan baik," imbuh Brodkin, salah satu penulis buku "Missing Each Other: How to Cultivate Meaningful Connections."
Meski komunikasi digital memiliki banyak manfaat, menurut Brodkin, percakapan langsunglah yang dapat membantu kita memahami sudut pandang orang lain dan merasakan emosi mereka.
"Media sosial dan internet dapat mendistorsi cara kita terhubung satu sama lain, dan kemudian perusahaan memanfaatkannya untuk mencari keuntungan agar dapat mengarah pada pemutusan hubungan, polarisasi, permusuhan, dan sebagainya," katanya.
"Empati terjadi paling baik saat bertatap muka," ketika Anda dapat membaca ekspresi dan nada suara seseorang, kata sosiolog Sherry Turkle, seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology dan penulis buku "Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age."
Di masa yang penuh polarisasi, ada kecenderungan menjelek-jelekkan pihak lain, yang dapat memperparah putusnya hubungan. “Jika orang-orang lebih terhubung dan mendengarkan satu sama lain, mereka akan menyadari bahwa (contoh retorika kebencian) ini hanyalah hal yang paling ekstrem,” kata Brodkin.
Brodkin berharap keempat teknik ini meningkatkan keinginan orang untuk mendengarkan dan memandang orang lain dalam sudut pandang yang lebih manusiawi, "dan mungkin bahkan dapat bekerja sama dalam beberapa hal, untuk mencapai konsensus," katanya. (CNN/Z-3)
Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, mengingatkan pentingnya menjaga dan meneruskan nilai-nilai perjuangan para tokoh bangsa.
Jovial da Lopez menyebut keberanian untuk keluar dari zona nyaman menjadi kunci penting dalam membentuk karakter yang tangguh dan percaya diri.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rizal Bawazier, mendorong pelatihan khusus bagi anak-anak muda yang belum mendapatkan kesempatan kerja. Ketimbang langsung disuruh kerja, lebih baik dilatih dulu.
Kampanye Si Paling Megang menunjukkan komitmen dari Pemerintah Indonesia dalam mempromosikan gaya hidup sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Usia baru menginjak 20-an, tapi tubuh terasa cepat pegal dan lelah? Waspadalah—bukan sekadar kelelahan biasa, ini bisa menjadi gejala gangguan metabolisme
Rumah masih menjadi sesuatu yang sulit dimiliki oleh anak muda di Indonesia saat ini. Faktor ekonomi dan sosial menjadi kendala utama.
Anak dan remaja membutuhkan ruang yang aman dan suportif untuk menyalurkan tekanan emosional yang mereka rasakan, terutama pada masa transisi seperti awal tahun ajaran baru.
Empati: Jembatan hati, bangun koneksi mendalam. Pahami perasaan, eratkan hubungan, ciptakan dunia lebih baik.
Tingkatkan empati: Pelajari cara menunjukkan simpati tulus, membangun hubungan bermakna, dan menebar kebaikan.
SAATNYA kita belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas 7 SMP (sekolah menengah pertama) semester 2. Nah, sekarang kita simak rangkuman PAI Kelas 7 SMP semester 2.
Salah satu tanda yang mungkin bisa lanjut diperhatikan oleh orangtua yakni anak sering menunjukkan perilaku agresif
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved