Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

PBB: Serangan Udara Prancis di Mali Tewaskan 19 Warga Sipil

Atikah Ishmah Winahyu
31/3/2021 11:35
PBB: Serangan Udara Prancis di Mali Tewaskan 19 Warga Sipil
Serangan udara jet tempur militer Prancis ke Douentza, Mali, pada Januari lalu, telah menewaskan 19 warga sipil.(Pascal GUYOT / AFP)

TIm penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa serangan udara Prancis pada Januari 2021 menewaskan sedikitnya 19 warga sipil dalam pesta pernikahan di Mali tengah.

Catatan tersebut mengonfirmasi laporan penduduk setempat dan bertentangan dengan versi Prancis yang menyebut bahwa hanya pejuang pemberontak yang terkena serangan.

Divisi Hak Asasi Manusia Misi PBB di Mali (MINUSMA) mengaku telah mengunjungi Desa Bounti tempat serangan itu terjadi pada 3 Januari 2021. Pihaknya menganalisis gambar satelit dan mewawancarai lebih dari 400 orang, termasuk setidaknya 115 wajah dalam sesi tatap muka individu.

"MINUSMA dapat memastikan bahwa perayaan pernikahan yang diadakan yang mempertemukan sekitar 100 warga sipil di lokasi penyerangan," kata laporan itu, yang dirilis pada Selasa (30/3).

Disebutkan, 19 orang termasuk 16 warga sipil dan tiga pria bersenjata yang menghadiri pernikahan tewas seketika dalam serangan udara itu, sementara tiga warga sipil lainnya tewas saat dipindahkan ke perawatan medis.

"Ada lima orang bersenjata di antara mereka (pesta pernikahan), yang diduga anggota Katiba Serma," kata laporan MINUSMA, merujuk pada kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan al-Qaeda.

Temuan tersebut merupakan kritik langka atas tindakan pasukan Prancis di Mali."Kelompok yang terkena dampak serangan itu sebagian besar terdiri dari warga sipil yang dilindungi oleh hukum humaniter internasional," ujarnya.

"Seranganini menimbulkan kekhawatiran serius tentang penghormatan terhadap prinsip-prinsip perilaku permusuhan," tambahnya.

Penduduk setempat mengatakan serangan udara menghantam pesta pernikahan yang dihadiri warga sipil. Tiga warga Bounti mengatakan kepada Human Rights Watch (HRW) bahwa laki-laki berkumpul secara terpisah dari perempuan dan anak-anak karena pembatasan pemisah gender.

Mereka mengatakan bahwa pernikahan telah direncanakan lebih dari sebulan sebelumnya dan orang-orang datang dari kota dan desa lain untuk hadir, menurut laporan HRW, yang diterbitkan pada Januari 2021.

"Tiba-tiba, kami mendengar suara jet, dan semuanya terjadi dengan cepat," kata seorang pria berusia 68 tahun kepada HRW.

“Saya mendengar ledakan yang kuat, bom, dan kemudian ledakan lainnya. Saya kehilangan kesadaran selama beberapa menit dan ketika saya bangun, kaki saya berdarah karena pecahan peluru, dan di sekitar saya luka-luka serta ada mayat,” kisahnya.

Setelah serangan itu militer Prancis mengatakan bahwa mereka telah menewaskan sekitar 30 pejuang pemberontak yang diidentifikasi oleh pengawasan udara, dan membantah bahwa pernikahan telah berlangsung di Bounti hari itu. MINUSMA kemudian meluncurkan penyelidikan atas perkara tersebut.

Laporan hari Selasa menyusul serangan udara Prancis lainnya yang disengketakan di Mali minggu lalu. Pejabat lokal di Mali utara menuduh militer Prancis pekan lalu membunuh enam warga sipil dalam serangan udara lain pada 25 Maret.

Pasukan Prancis mengatakan mereka menargetkan pejuang pemberontak bersenjata tetapi penduduk setempat menuduh mereka yang terbunuh adalah pemburu muda.

Prancis membantah laporan

Prancis,Selasa (30/3), membantah temuan PBB. Kementerian pertahanan mengatakan pihaknya dengan konsisten mempertahankan dan menegaskan bahwa pada 3 Januari, angkatan bersenjata Prancis melakukan serangan udara yang menargetkan kelompok teroris bersenjata di dekat desa Bounti.

Mereka mengatakan, serangan itu mengikuti proses penargetan yang kuat dan menyatakan banyak keraguan tentang metodologi yang digunakan dalam penyelidikan PBB.

“Satu-satunya sumber konkret yang menjadi dasar laporan ini adalah kesaksian lokal. Mereka tidak pernah ditranskrip, identitas saksi tidak pernah ditentukan, atau kondisi di mana kesaksian dikumpulkan,” katanya.

"Oleh karena itu, tidak mungkin untuk membedakan sumber yang dapat dipercaya dari kesaksian palsu oleh simpatisan teroris atau individu yang mungkin berada di bawah pengaruh (termasuk ancaman) dari kelompok jihadis,” imbuhnya.(Aiw/Aljazeer/OL-09)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya