Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Demonstran di Myanmar Kembali Turun ke Jalan

Atikah Ishmah Winahyu
10/2/2021 12:13
Demonstran di Myanmar Kembali Turun ke Jalan
Para demonstran membawa poster dan duduk di kolam palstik berunjuk rasa di depan Kedubes Jepang di Yangon, Myanmar, Rabu (10/2).(Sai Aung Main / AFP)

PARA pengunjuk rasa kembali ke jalanan di ibu kota Myanmar, Naypyitaw hari ini, Rabu (10/2) setelah hari yang paling kejam dalam demonstrasi menentang kudeta militer. Pada Selasa (9/2), puluhan ribu demonstran berbaris di kota besar dan kota kecil di seluruh negeri menentang larangan berkumpul di beberapa daerah.

Polisi melawan mereka dengan menggunakan meriam air, peluru karet dan peluru tajam. Seorang wanita terkena peluru di kepala dan berada dalam kondisi kritis.

“Dia terluka ketika polisi melepaskan tembakan, sebagian besar ke udara, untuk membersihkan pengunjuk rasa di ibukota. Tiga orang lainnya sedang dirawat karena luka akibat peluru karet yang dicurigai,” kata dokter di Naypyidaw.

Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa, menuntut pembalikan kudeta, dan pembebasan Aung San Suu Kyi serta para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan aktivisnya yang ditahan.

"Kami tidak bisa tinggal diam," kata pemimpin pemuda Esther Ze Naw kepada Rabu (10/2).

"Jika ada pertumpahan darah selama protes damai kita, maka akan ada lebih banyak jika kita membiarkan mereka mengambil alih negara,” imbuhnya.

Di Naypyitaw, ratusan pegawai pemerintah berbaris untuk mendukung kampanye pembangkangan sipil yang antara lain diikuti oleh para dokter, guru, dan pekerja kereta api.

Para pengunjuk rasa juga terluka di Mandalay dan kota-kota lain, di mana pasukan keamanan juga menggunakan meriam air. Media pemerintah melaporkan cedera yang dialami polisi selama upaya mereka membubarkan pengunjuk rasa, yang dituduh melempar batu dan batu bata.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan sedang meninjau bantuan ke Myanmar untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kudeta menghadapi konsekuensi yang signifikan.

"Kami mengulangi seruan kami kepada militer untuk melepaskan kekuasaan, memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, membebaskan mereka yang ditahan dan mencabut semua pembatasan telekomunikasi dan menahan diri dari kekerasan," kata juru bicara Ned Price di Washington.

PBB meminta pasukan keamanan Myanmar menghormati hak orang untuk melakukan protes secara damai.

"Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap para demonstran tidak dapat diterima," kata perwakilan PBB di Myanmar Ola Almgren.

Protes tersebut adalah yang terbesar di Myanmar selama lebih dari satu dekade, menghidupkan kembali ingatan hampir setengah abad pemerintahan langsung militer dan gelombang pemberontakan berdarah sampai militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil pada tahun 2011.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan, hampir 60 orang ditangkap di seluruh Myanmar pada Selasa (9/2).

Tentara Myanmar mengambil alih kekuasaan dengan menuding telah terjadi penipuan dalam pemilihan 8 November yang dimenangkan telak oleh partai NLD Aung San Suu Kyi. Komisi pemilihan telah menepis keluhan militer.

Tuntutan para pengunjuk rasa sekarang lebih dari sekadar membalikkan kudeta.

Mereka juga mengupayakan penghapusan konstitusi 2008 yang disusun di bawah pengawasan militer yang memberikan hak veto kepada para jenderal di parlemen dan kendali beberapa kementerian, dan untuk sistem federal di Myanmar yang beragam etnis.

Aung San Suu Kyi memenangkan hadiah Nobel perdamaian pada tahun 1991 karena mengkampanyekan demokrasi dan menghabiskan hampir 15 tahun dalam tahanan rumah.

Wanita berusia 75 tahun itu menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal dan ditahan hingga 15 Februari. Pengacaranya mengatakan dia tidak diizinkan untuk menemui Aung San Suu Kyi.

Aung San Suu Kyi tetap sangat populer di negaranya meskipun reputasi internasionalnya rusak atas penderitaan minoritas Muslim Rohingya. (Aiw/The Guardian/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya