Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Ditekan AS-Israel, Libanon Desak Hizbullah Serahkan Senjata

Ferdian Ananda Majni
08/8/2025 11:00
Ditekan AS-Israel, Libanon Desak Hizbullah Serahkan Senjata
Orang-orang memeriksa kerusakan di lokasi serangan udara Israel semalam di Desa Deir Seryan, di Distrik Nabatieh, Libanon selatan, kemarin.(AFP)

PEMERINTAH Libanon dijadwalkan kembali menggelar rapat pada Kamis (7/8) waktu setempat untuk membahas langkah sensitif terkait pelucutan senjata Hizbullah. Sebelumnya, kelompok yang didukung Iran itu menolak keputusan pemerintah yang memerintahkan penyitaan senjata mereka.

Langkah ini muncul di tengah meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat. Utusan AS, Tom Barrack, melakukan sejumlah kunjungan ke Beirut dalam beberapa pekan terakhir. Ia menyampaikan proposal berisi jadwal pelucutan senjata Hizbullah kepada para pejabat Libanon.

Perdana Menteri Nawaf Salam menyatakan bahwa pemerintah menugaskan militer untuk menyusun rencana pembatasan kepemilikan senjata yang akan berlaku bagi pasukan negara dan harus selesai pada akhir 2025. Ini menjadi langkah yang belum pernah diambil sejak perang saudara Libanon pada 1975-1990. Saat itu, faksi-faksi bersenjata menyerahkan senjata mereka, kecuali Hizbullah. 

Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan pelucutan senjata ini merupakan bagian dari pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata pada November lalu yang bertujuan mengakhiri konflik bersenjata lebih dari setahun antara Hizbullah dan Israel. Konflik tersebut sempat memuncak tahun lalu dalam perang selama dua bulan yang melemahkan posisi Hizbullah secara politik dan militer.

Mengancam kedaulatan

Namun, Hizbullah menolak mentah-mentah rencana tersebut. Dalam pernyataan pada Rabu (6/8), mereka mengatakan akan memperlakukan keputusan pemerintah seolah-olah tidak ada dan menuduh kabinet melakukan dosa besar.

Hizbullah juga menilai keputusan itu mengancam kedaulatan Libanon dan memberi keleluasaan kepada Israel untuk mencampuri urusan keamanan dan politik negara. "Langkah tersebut merusak kedaulatan Libanon dan memberi Israel kebebasan untuk mengutak-atik keamanan, geografi, politik, dan masa depan bangsa," kata kelompok itu.

Hizbullah mengatakan pihaknya memandang langkah pemerintah sebagai hasil dari perintah utusan AS Tom Barrack. Hal itu dianggap sepenuhnya melayani kepentingan Israel dan membuat Libanon rentan terhadap musuh Israel tanpa pencegahan apa pun.

Gerakan Amal, sekutu politik Hizbullah yang dipimpin Ketua Parlemen Nabih Berri, juga mengecam langkah ini. Mereka menyebut rapat kabinet Kamis (7/8) sebagai kesempatan untuk koreksi.

Iran, sebagai pendukung utama Hizbullah, menyatakan bahwa keputusan mengenai senjata sepenuhnya berada di tangan kelompok tersebut. "Kami mendukungnya dari jauh, tetapi kami tidak mengintervensi keputusannya," kata Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dikutip AFP, kemarin. Dia menambahkan bahwa Hizbullah berhasil membangun kembali kekuatannya setelah perang dengan Israel.

Pengawasan AS-Israel 

Pada rapat kabinet, Selasa (5/8), dua menteri dari kubu Hizbullah dan Gerakan Amal keluar ruangan sebagai bentuk protes. Hizbullah menyebut aksi tersebut sebagai penolakan terhadap keputusan pemerintah untuk menempatkan Libanon di bawah pengawasan AS dan pendudukan Israel.

Media pro-Hizbullah, Al Akhbar, melaporkan bahwa blok Syiah yang terdiri dari 27 dari 128 anggota parlemen dapat mempertimbangkan opsi menarik empat menteri mereka dari kabinet atau bahkan mengajukan mosi tidak percaya.

Sementara itu, Israel terus menunjukkan sikap keras. Meski telah ada gencatan senjata, militer Israel rutin melancarkan serangan udara yang diklaim menargetkan pejuang dan fasilitas Hizbullah. Israel memperingatkan bahwa jika pemerintah Libanon gagal melucuti senjata Hizbullah, mereka tak akan ragu untuk melancarkan operasi militer besar. 

Menurut Kementerian Kesehatan Libanon, serangan Israel di kota selatan Tulin pada Rabu menewaskan satu orang dan melukai satu lainnya. Israel juga melancarkan serangkaian serangan udara di Libanon selatan dan melukai setidaknya dua orang.

Militer Israel mengatakan serangan tersebut menyasar fasilitas penyimpanan senjata, peluncur rudal, dan infrastruktur Hizbullah yang menyimpan peralatan teknik untuk memungkinkan pembangunan kembali.

Hizbullah mengatakan Israel harus menghentikan serangan sebelum perdebatan domestik tentang persenjataannya dan strategi pertahanan baru dapat dimulai. "Kami terbuka untuk berdialog, mengakhiri agresi Israel terhadap Libanon, membebaskan tanahnya, membebaskan tahanan, berupaya membangun negara, dan membangun kembali yang telah dihancurkan oleh agresi brutal," kata kelompok itu. Hizbullah siap membahas strategi keamanan nasional, tetapi tidak di bawah tekanan Israel.

Menghindari konfrontasi 

Lawan Hizbullah, Pasukan Libanon, salah satu dari dua partai Kristen utama di negara itu, mengatakan keputusan kabinet untuk melucuti senjata kelompok militan tersebut merupakan momen penting dalam sejarah modern Libanon. "Langkah ini telah lama ditunggu-tunggu menuju pemulihan otoritas dan kedaulatan negara sepenuhnya," ucap partai itu.

Gerakan Patriotik Bebas, partai Kristen besar lain dan mantan sekutu Hizbullah, mengatakan pihaknya mendukung tentara menerima senjata kelompok tersebut untuk memperkuat kekuatan pertahanan Libanon.

Bila terjadi pertikaian antara tentara dengan Hizbullah kemungkinan besar akan berdampak besar bagi citra kelompok tersebut di mata masyarakat Libanon. "Hizbullah, sebisa mungkin, ingin mengurangi kemungkinan dirinya terlibat dalam konfrontasi dengan tentara, karena ia tahu bahwa seluruh negeri akan menentangnya kecuali para pendukungnya," kata David Wood, seorang analis senior Lebanon di International Crisis Group. "Itu akan menjadi bencana besar bagi citranya," tambahnya. 

Anggota parlemen Hizbullah, Ali Ammar, menepis kemungkinan konfrontasi dengan militer. Ia mengatakan bahwa kedua kekuatan saling memahami. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya