Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Pelajaran dari Kazakhstan

Achmad Maulana
24/9/2019 08:39
Pelajaran dari Kazakhstan
Beiterek, landmark Kota Nur Sultan(MI/Achmad Maulana)

TIDAK mudah memindahkan ibu kota sebuah negara. Dibutuhkan perencanaan yang matang dan dukungan berbagai hal untuk merealisasikannya.

Hal tersebut diungkapkan Duta Besar RI untuk Kazakhstan Rahmat Pramono. Ia menuturkan tidak semua warga Kazakhstan awalnya setuju dengan rencana kepindahan ibu kota negara.

"Jadi memang dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk merealisasikannya. Yang pasti, proses itu membutuhkan waktu yang panjang dan perlu kajian yang matang," tutur Rahmat.

Sampai sekarang pun Nur Sultan, kata dia, masih berproses. Belum selesai. Kazakhstan resmi memindahkan ibu kotanya ke Astana pada 10 Juni 1998.

"Berdasarkan pengalaman Kazakhstan, yang pasti, pemerintah harus bekerja sama dengan swasta dan jangan ada kongkalikong," tegasnya.

Baca juga: Kazakhstan Bisa Jadi Pintu Masuk Indonesia ke Eurasia

Hal senada dikatakan Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk belajar dari negara-negara yang sukses memindahkan ibu kota negara mereka.

Ia menilai Kazakhstan sebagai salah satu negara yang sukses memindahkan ibu kota.

"Sebelumnya saya hanya mendengar soal Kazakhstan yang berhasil memindahkan ibu kota negaranya dari Almaty ke Astana. Ketika saya melihat sendiri Astana, saya sangat terkejut," tutur Darmayanti di kantor Wali Kota Nur Sultan, Senin (23/9).

"Saya melihat tata kotanya demikian rapi dan semuanya begitu terencana. Masalah kependudukan pun diatur sedemikian rupa sehingga menutup celah kemungkinan migrasi penduduk."

Selain itu, kata dia, pemerintah Kazakhstan juga konsisten mempertahankan kawasan hijau, terutama di daerah aliran sungai. Semua bangunan juga diatur dan dibatasi ketinggiannya maksimal hanya 300 meter.

Sementara itu warga yang tinggal di luar lingkaran kota, tetap diberikan kesempatan memberikan hasil usaha mereka tanpa harus bekerja di kota.

"Jadi banyak hal yang bisa kita pelajari, tentunya secara teknis ini patut ditiru oleh tim di negara kita, dan DPD hanya bisa menyampaikan kepada pemerintah dari apa yang kita lihat dan amati."

"Kita bisa menjadikan mereka rujukan dalam mengembangkan sebuah kawasan," cetus Darmayanti.

Pernyataan keduanya diamini mantan staf ahli pemindahan Ibu Kota Kazahkstan Farid Gulinov.

Menurut dia, pemerintahnya bahkan sempat mendapat tentangan keras dari sebagian warga saat presiden pertama negara tersebut Nursultan Abishuly Nazarbayev mewacanakan pemindahan ibu kota dari Almaty ke Astana (kini bernama Nur Sultan).

"Masalah pertama adalah psikologi. Warga menilai cuaca di Almaty lebih bersahabat ketimbang Astana yang bisa sangat ekstrim," tutur Gulinov yang kini menjabat sebagai kepala kereta api Kazakhstan di Nur Sultan, Senin (23/9).

"Masalah kedua penataan, penyediaan infrastruktur, penyediaan gedung-gedung pemerintah, tempat tingg pegawai, dan lain-lain. Hal itu tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua bulan," imbuhnya.

Meski begitu, kata dia, pemerintahnya sudah bulat memindahkan Ibu Kota. Maka dibuatlah ketetapan oleh majelis tinggi yang diperkuat oleh dekrit presiden.

"Setelah itu dibuatlah tim pemindahan. Untuk tahap awal kami hanya memindahkan 30-40% pegawai, sisanya dari warga lokal," urainya.

Dari pengamatan di lapangan sendiri, pemerintah Kazakstan boleh dibilang berhasil menyulap kawasan yang dulunya berupa savana menjadi sebuah kota yang bervisi dan bahkan smart city.

Sebagian besar gedung di Nur Sultan dibangun tidak lagi mengusung arsitektur konvensional tetapi futuristik. Posisi mereka pun diatur sedemikian rupa.

Seperti kantor kementerian misalnya, berada di lokasi yang sama. Demikian juga kantor kedutaan negara-negara sahabat, berada di satu kompleks.

Jalan-jalan juga ditata rapih.

Hanya memang dengan usia kota yang berumur 20 tahun, Astana atau Nur Sultan tampak masih terus bersolek. Hal itu bisa dilihat dari pembangunan gedung-gedung yang tampak marak.

Di samping itu, sebagai kawasan yang diperuntukan untuk pemerintahan, jumlah warga yang menetap juga masih jarang. Alhasil banyak apartemen kosong.

Keberadaan mal di Nur Sultan bahkan sepertinya belum mampu memancing minat orang untuk menetap. Alhasil jalan-jalan di Ibu Kota Kazakhstan itu tidak seramai Jakarta atau kota-kota besar di dunia lainnya.

Terlepas dari hal tersebut, Kazakhstan setidaknya berhasil mewujudkan impian mereka untuk membangun sebuah kota yang menjadi ciri khas mereka dan lepas dari bayang-bayang Uni Soviet.

"Sebagai negara yang pernah menjadi bagian Uni Soviet, kami memang punya sejarah masa lalu. Dan kini kami mencoba membangun masa depan kami sendiri," cetus Farid Gulinov. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya