Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Demi Transparansi, Praktisi Hukum Desak Audit LMK-LMKN hingga WAMI

Cahya Mulyana
19/8/2025 22:25
Demi Transparansi, Praktisi Hukum Desak Audit LMK-LMKN hingga WAMI
Deolipa Yumara,(dok.istimewa)

POLEMIK royalti lagu  menyita perhatian publik belakangan ini dan menuai kontroversi. Praktisi hukum sekaligus musisi, Deolipa Yumara, mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) serta Wahana Musik Indonesia (WAMI) segera diaudit demi transparansi.

Deolipa menegaskan, LMKN maupun WAMI sedianya berada di bawah Kementerian Hukum (Kemenkum) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Karena itu, keduanya dianggap sebagai perpanjangan tangan negara dalam mengelola royalti.

“Artinya mereka ini sebenarnya non-sukural, tapi diberikan hak secara institusi untuk melakukan kolektif, kolektif terhadap royalti, musik. Ciptaan lagu maupun musik kan mereka diberikan hak untuk mengkolektif. Mereka adalah wakil dari negara. Karena diatur secara undang-undang,” ujar Deolipa saat jumpa pers di Walking Drums, Pati Unus, Jakarta Selatan, pada Selasa (19/8).

Banyak Masalah?

Menurutnya, sistem pengelolaan royalti pada praktik pelaksanaannya banyak menimbulkan masalah. Banyak musisi dan pencipta lagu mengeluh lantaran menerima royalti dalam jumlah kecil, padahal penarikan dari berbagai sektor hiburan terbilang besar.

“Ada juga akhirnya teriakan-teriakan dari pencipta lagu yang katanya cuma terima pembayaran sebagai pencipta lagu kecil, cuma Rp700 ribu selama setahun ya, ada yang Rp200 ribu. Nah, sementara WAMI maupun si LMKN ini menerima atau menagih kepada hampir semua usaha-usaha entertain dan cafe. Bioskop ditagih, kemudian mall ditagih, hotel ditagih, lembaga-lembaga perjalanan yang bikin musik ditagih, semuanya ditagih, bahkan cafe-cafe ditagih,” sesalnya. 

“Nah, kita ambil satu contoh yang kemudian menjadi ribut yaitu Mie Gacoan dengan LMKN, dimana tagihannya satu periode itu dalam satu tahun Rp2,4 miliar,” imbuhnya menegaskan.

Atas dasar itu, Deolipa pun mempertanyakan transparansi pengelolaan dana tersebut. Ia pun mendesak agar LMK-LMKN dan WAMI harus diaudit demi transparansi publik. 

“Pertanyaannya, uangnya kemana? Karena uangnya kemana itu? Publik berhak tahu. Makanya saya minta supaya ini diaudit. Sama seperti Ari Lasso juga minta LMKN diaudit maupun WAMI diaudit,” tegasnya.

Regulasi Lemah?

Deolipa menambahkan, lemahnya regulasi, pengawasan, dan praktik di lapangan membuat persoalan semakin runyam mengenai distribusi royalti musik di Tanah Air. 

“Regulasinya juga jadi lemah, kemudian pengawasannya juga kelihatannya kongkalikong, kemudian praktiknya juga lemah, penagihannya juga lemah. Hanya target-target tertentu saja tampaknya, kan. Atau kalau kita anggap semua target penagihannya itu berjalan baik, tentunya ada uang besar yang kemudian menjadi gelap. Kenapa? Karena pembayaran royaltinya kepada pencipta lagu kecil, gitu. Jadi itu tadi, makanya kita anggap lemah semua,” kata Deolipa.

Lebih jauh, Deolipa menyebut LMKN dan WAMI kerap bertindak seperti “tukang tagih” yang mengancam pidana bila pelaku usaha tidak membayar. 

“Jadi mereka si LMKN sama WAMI ini semacam centeng, tukang tagih. Kalau enggak bayar, kami penjarakan, kan, begitu. Melebihi orang pajak,” ketusnya.

Pengelolaan Kabur?

Namun demikian, Deolipa juga menyesalkan posisi LMKN dan WAMI yang berstatus non-struktural. Menurutnya, hal itu membuat pengelolaan royalti semakin kabur. 

“Ini karena dibikin non-struktural dan bikin abu-abu. Jadi enggak tegas, kan? Karena abu-abu tadi karena non-struktural. Kalau struktural kan jelas. Kalau non-struktural kan abu-abu. Bisa ke sono, ke sini, ke sono, kan? Sehingga bisa terbang-terbang ke mana-mana. Dibiarkan saja, begitu, kan?” tuturnya.

“Jadi ke depannya ini harus dipertegas. Apakah LMKN dan WAMI ini menjadi lembagaan negara yang rapi, yang mudah terstruktur di bawah pengawasan negara, ataukah dibiarkan abu-abu. Sampai sekarang ini posisinya masih abu-abu,” imbuh Deolipa.

Sebagai solusi jangka panjang, Deolipa pun mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang baru yang lebih detail soal tata kelola royalti. 

“Jadi, ini perlu adanya undang-undang baru. Konkretnya. Karena undang-undang lama ternyata, undang-undang yang sekarang berlaku, yang positif ini, ternyata tidak bisa meng-cover apa-apa yang menjadi kepentingan para pihak, ya, di dunia penciptaan lagu dan di dunia royalti,” pungkasnya. (Cah/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya