Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
PEMANASAN global akibat emisi gas rumah kaca yang terus memecahkan rekor diperkirakan dapat menghabiskan "anggaran karbon" Bumi dalam waktu tiga tahun ke depan. Jika tidak dikendalikan, hal ini akan mendorong suhu global melampaui ambang batas simbolis 1,5 derajat Celsius, sebuah tonggak penting yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015.
Batas 2 derajat Celsius selama ini dianggap sebagai ambang kritis. Jika terlewati, risiko bencana iklim yang parah dan tidak dapat diubah akan meningkat drastis.
Namun, laporan terbaru dari lebih dari 60 ilmuwan iklim ternama dunia menunjukkan target tersebut kian sulit dicapai. Studi yang dipublikasikan 19 Juni di jurnal Earth System Science Data itu mengungkapkan hanya tersisa sekitar 143 miliar ton karbon dioksida sebelum ambang batas 1,5°C terlampaui. Sementara itu, umat manusia saat ini melepaskan lebih dari 46 miliar ton karbon setiap tahunnya.
“Waktu kita untuk menjaga suhu bumi tetap di bawah 1,5°C hampir habis,” kata Joeri Rogelj, profesor ilmu iklim dan kebijakan di Imperial College London. “Pemanasan global telah memengaruhi miliaran orang di seluruh dunia. Setiap kenaikan kecil pun berdampak besar, dari cuaca ekstrem hingga bencana yang lebih sering dan parah.”
Pada 2020, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan anggaran karbon tersisa sekitar 550 miliar ton. Namun, emisi global yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir mempercepat habisnya anggaran ini, sementara laporan IPCC berikutnya baru akan dirilis pada 2029.
Para ilmuwan dalam studi ini menggunakan 10 indikator utama perubahan iklim, termasuk emisi gas rumah kaca bersih, ketidakseimbangan energi bumi, perubahan suhu permukaan, kenaikan permukaan laut, hingga intensitas suhu ekstrem.
Hasilnya mengkhawatirkan: suhu bumi kini meningkat sekitar 0,27°C setiap dekade, dan telah mencapai 1,24°C di atas rata-rata suhu praindustri. Panas yang terperangkap di atmosfer meningkat 25% lebih cepat dibanding dekade sebelumnya, dan 90% dari panas berlebih ini diserap oleh laut, yang memicu gangguan ekosistem laut, mencairkan es, dan mempercepat kenaikan permukaan laut.
“Sejak 1900, permukaan laut rata-rata global telah naik sekitar 228 mm. Meski terlihat kecil, dampaknya besar, terutama bagi wilayah pesisir rendah,” jelas Aimée Slangen, klimatolog dari NIOZ Royal Netherlands Institute for Sea Research. “Yang mengkhawatirkan, kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim berjalan lambat—artinya peningkatan akan terus terjadi selama beberapa dekade mendatang.”
Dampak dari pemanasan ini berpotensi menghantam sektor pertanian global. Sebuah studi memperkirakan hasil panen jagung dan gandum di negara-negara besar seperti AS, Tiongkok, dan Rusia bisa turun hingga 40% sebelum akhir abad ini. Studi lain mencatat 30% wilayah daratan bumi mengalami kekeringan sedang hingga ekstrem pada 2022.
Meski demikian, laporan ini juga menunjukkan secercah harapan: emisi global diperkirakan akan mencapai puncaknya dalam dekade ini sebelum menurun. Namun, untuk mencapainya, transisi ke energi bersih seperti tenaga angin dan surya harus dipercepat, sambil memangkas drastis emisi karbon dari sektor industri, transportasi, dan pembangkit listrik.
“Emisi dalam dekade ini akan menentukan seberapa cepat dan kapan pemanasan 1,5°C akan tercapai,” tegas Rogelj. “Pengurangan emisi secara cepat sangat penting untuk memenuhi target iklim Perjanjian Paris.” (Live Science/Z-2)
Bagi korporasi, penerapan konsep environmental, social, and governance (ESG) menjadi hal yang semakin penting untuk bisa diimplementasikan.
Tanah tak lagi dipandang sekadar media tanam, tapi sebagai fondasi keberlangsungan hidup dan benteng terakhir ketahanan pangan.
Sebanyak 73% sekolah di Indonesia berada di area rawan banjir.
"Karena Pulau Gag masuk dalam kategori pulau kecil, kegiatan penambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan, serta dilarang sebagaimana Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K,"
TANTANGAN dalam mengatasi dan melakukan mitigasi bencana di dunia saat ini disebut semakin kompleks. Berbagai isu global seperti perubahan iklim hingga tekanan urbanisasi menjadi pemicunya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved