Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Percepat Eliminasi Kusta dan Filariasis, Indonesia Targetkan Bebas NTDs pada 2030

Ihfa Firdausya
31/1/2025 15:55
Percepat Eliminasi Kusta dan Filariasis, Indonesia Targetkan Bebas NTDs pada 2030
Ilustrasi(kemkes.go.id)

PEMERINTAH  Indonesia terus mempercepat langkah eliminasi Penyakit Tropis Terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTDs), khususnya kusta dan filariasis. Targetnya Indonesia bisa bebas dari kedua penyakit tersebut pada 2030.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengakselerasi berbagai program pengendalian, pencegahan, dan edukasi di wilayah endemis. Hal itu dilakukan melalui strategi deteksi dini, pengobatan massal, dan kolaborasi lintas sektor.

Direktur Penyakit Menular Kemenkes Ina Agustina menyebut Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam pengendalian kusta dan filariasis. Namun, berbagai tantangan masih harus diatasi, di antaranya stigma sosial, keterlambatan diagnosis, serta rendahnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam menjalani pengobatan.

“Pada 2023, Indonesia masih menempati peringkat tiga dunia dalam jumlah kasus baru kusta, dengan total 12.798 kasus baru. Beberapa provinsi yang mencatat jumlah kasus kusta tertinggi, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Papua,” terangnya dalam keterangan resmi, Jumat (31/1).

Untuk mencapai target eliminasi kusta pada 2030, ada lima strategi utama yang dilakukan. Pertama, deteksi dini dan pengobatan cepat dengan terapi Multi-Drug Therapy (MDT) selama 6 hingga 12 bulan. Kedua, pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) di daerah dengan kasus tinggi. Ketiga, surveilans aktif untuk menemukan kasus secara cepat. Keempat, edukasi dan promosi kesehatan untuk mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Kelima, kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat eliminasi kusta.

Meskipun prevalensi kusta telah menurun sejak 1981, eliminasi total masih menjadi target utama dengan visi “Zero New Cases, Zero Disabilities, dan Zero Stigma”. Prof. Linuwih dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, menekankan bahwa stigma terhadap penderita kusta menjadi hambatan utama dalam upaya eliminasi.

“Banyak pasien yang sudah sembuh masih mengalami diskriminasi sosial, sehingga mereka enggan mencari pengobatan sejak dini,” ungkapnya.

Sementara itu, filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Indonesia menghadapi tantangan unik dalam eliminasi penyakit ini karena menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori (spesies yang hanya ditemukan di Indonesia dan Timor Leste).

Menurut dosen FKUI Departemen Parasitologi Prof. Dr. Taniawati Supali, filariasis adalah penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia setelah gangguan jiwa, dengan dampak ekonomi yang signifikan bagi penderitanya. “Filariasis memperburuk kemiskinan karena penderitanya kehilangan kemampuan bekerja dan akhirnya dikucilkan oleh masyarakat,” jelasnya.

Salah satu tantangan utama dalam eliminasi filariasis adalah banyaknya individu yang sudah terinfeksi tetapi belum menunjukkan gejala. “Infeksi membutuhkan waktu 5 hingga 8 tahun untuk berkembang menjadi kondisi yang terlihat, sehingga banyak orang sehat yang sebenarnya sudah memiliki cacing dalam darahnya, tetapi tidak merasakan sakit,” tambah Prof. Taniawati.

Untuk mencapai target eliminasi filariasis 2030, pemerintah menyiapkan lima strategi utama. Pertama, Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) setiap tahun selama lima tahun di daerah endemis.

Kedua, penerapan strategi pengobatan tiga obat (IDA therapy) yang dapat mempercepat eliminasi hanya dalam dua tahun. Ketiga, surveilans ketat untuk memastikan tidak ada transmisi baru.

Keempat, peningkatan edukasi masyarakat tentang bahaya dan pencegahan filariasis. Kelima, kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan peternakan dan lingkungan, karena filariasis juga ditemukan pada hewan seperti kera, kucing, dan anjing. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya