Belanja Konsumsi Rokok Hampir Sama dengan Biaya Konsumsi Protein Hewan

M Iqbal Al Machmudi
22/1/2025 10:29
Belanja Konsumsi Rokok Hampir Sama dengan Biaya Konsumsi Protein Hewan
Penjual mengisi cairan rokok elektrik di salah satu toko di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (14/12/2024)(ANTARA/FRANSISCO CAROLIO)

DIRJEN Kesehatan Primer dan Komunitas, Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi mengungkapkan bahwa pengeluaran belanja keluarga untuk rokok dan tembakau hampir setara dengan pengeluaran untuk protein hewani.

Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 berbagai kuintil pengeluaran, persentase belanja untuk rokok dan tembakau cukup signifikan.

Pada kuintil 1 tercatat pengeluaran sebesar 11,54%, kuintil 2 sebesar 13,39%, kuintil 3 sebesar 14,17%, kuintil 4 sebesar 14,30%, dan kuintil 5 sebesar 11,35%.

Di sisi lain, pengeluaran untuk protein hewani, yang mencakup ikan, udang, cumi, kerang, daging, telur, dan susu, juga menunjukkan angka yang signifikan. Pada kuintil 1, pengeluaran untuk protein hewani mencapai 14,83%, kuintil 2 sebesar 16,27%, kuintil 3 sebesar 17,26%, kuintil 4 sebesar 18,41%, dan kuintil 5 sebesar 20,6%.

Tidak hanya rokok dan tembakau, tantangan di bidang gizi semakin kompleks dan beragam, termasuk masalah gizi kurang, kekurangan mikronutrien, serta overweight atau obesitas.

“Indonesia mengalami tiga masalah besar terkait gizi, yaitu gizi kurang (undernutrition), kekurangan mikronutrien, dan overweight atau obesitas. Salah satu masalah yang signifikan adalah stunting pada balita mencapai 21,5%, sehingga berpengaruh langsung terhadap kualitas sumber daya manusia kita,” kata Endang pada peringatan Hari Gizi Nasional di gedung Kemenkes, Jakarta, Selasa (21/1).

Masalah gizi kurang pada balita tercatat 8,5%, sedangkan anemia pada remaja mencapai 16,3% dan anemia pada ibu hamil 27,7%. Selain itu, overweight pada remaja tercatat 12,1%, sedangkan obesitas pada orang dewasa juga menjadi perhatian serius.

Pola makan masyarakat Indonesia saat ini memunculkan kekhawatiran tersendiri. Konsumsi protein hewani pada balita masih rendah, yakni hanya 21,6%. Sementara itu, konsumsi minuman manis tinggi mencapai 52%, makanan asin 32%, makanan instan 11%, dan penggunaan penyedap rasa tercatat 78%. Bahkan, 65% masyarakat Indonesia cenderung tidak sarapan setiap hari.

Data itu menunjukkan bahwa tantangan untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat Indonesia masih sangat besar. Salah satu upaya penting adalah mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang mengandung banyak gula, garam, dan lemak serta meningkatkan konsumsi makanan bergizi seimbang.

“Untuk itu, kita perlu memberikan prioritas pada pola makan yang bergizi seimbang, terutama bagi anak-anak. Gizi seimbang sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang yang optimal, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan,” ujar dia.

Menurut dr. Endang, makanan bergizi seimbang harus mencakup beragam jenis makanan, termasuk sayur dan buah, serta lauk yang kaya protein. 

"Masyarakat juga perlu mengurangi konsumsi makanan manis, asin, dan berlemak secara berlebihan, serta membiasakan sarapan dan cukup minum air putih setiap hari," ucapnya.

Staf Ahli Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Ikeu Tanziha, menjelaskan bahwa kualitas gizi yang baik sangat berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada masa depan. 

"Presiden RI Prabowo Subianto telah membentuk BGN, yang bertugas memastikan pemenuhan gizi nasional secara optimal," pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya