Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pakar UGM Desak Pemerintah Tinjau Ulang Rencana Pembukaan Lahan 20 Juta Hektare

Agus Utantoro
19/1/2025 09:10
Pakar UGM Desak Pemerintah Tinjau Ulang Rencana Pembukaan Lahan 20 Juta Hektare
Petani mengusir hama burung pipit (Estrildidae) di persawahan Desa Karangrowo, Undaan, Kudus, Jawa Tengah, Senin (6/1/2025).(ANTARA/YUSUF NUGROHO )

PAKAR-PAKAR di UGM sepakat menyampaikan rekomendasi hingga saat ini belum ada urgensi bagi pemerintah untuk membuka lahan baru secara besar-besaran. Meski kebijakan tersebut bertujuan untuk membuka ketersediaan sumber pangan. Sebaliknya, meminta pemerintah untuk memperbaiki sistem pertanian yang ada saat ini yang dinilai belum belum optimal.

Hal itu mengemuka dalam seminar Pemikiran Bulaksumur yang yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM di kampus setempat, Sabtu.
Pemerhati kebijakan sosial ekonomi pertanian, Prof. Subejo, menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produksi pangan yang terganggu karena tidak efisiennya penggunaan pupuk, peralatan pertanian masih terbatas, hingga masih minimnya irigasi pertanian. 

Hal lainnya, kat Prof.Subejo, kondisi sektor pertanian dihadapkan pada persoalan rata-rata petani yang semakin menua dan tidak banyak anak muda yang tertarik dan berminat menjadi petani. “Tugas yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat Indonesia usia muda untuk masuk ke dunia pertanian untuk regenerasi,” jelasnya.

Dtambah lagi, jelasnya, tingkat kompetensi SDM petani masih rendah dikarenakan sebagian besar pendidikan petani rata-rata hanya lulusan sekolah dasar. “Semua faktor tersebut perlu diperbaiki dan dikelola dengan baik akan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan Indonesia ke depan,” ungkapnya. 

Karena itu terkait kebijakan untuk melakukan alih fungsi lahan sebanyak 20 juta hektar yang direncanakan untuk sumber energi menurut Prof. Subejo juga dinilai belum perlu untuk diimplementasikan. "Karena sejauh ini kebutuhan akan energi berbahan dasar kelapa sawit atau bioetanol masih bisa dicukupi dengan jumlah hutan sawit yang ada saat ini," tegasnya. 

Disamping itu, pembukaan lahan hutan juga memiliki banyak efek samping yang akan dirasakan yang mana sesuai dalam rencana pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan keseimbangan keragaman hayati dan ketersediaan pangan. 

Sedangkan Guru Besar Kehutanan Prof. Dr. Widyanto Dwi Nugroho mengatakan pemerintah tidak perlu membuka lahan baru dengan merusak hutan namun dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan di hutan yang sudah tidak produktif atau terdegradasi. Apalagi pemerintah sudah berkomitmen menurunkan karbon emisi hingga kurang dari 198,27 juta ton pada tahun 2025. “Pembukaan lahan akan lebih tepat apabila memanfaatkan hutan degradasi menjadi produktif dan bisa bermanfaat untuk segi pangan dan lingkungan,” tegasnya.

Soal program proyek pangan yang dicanangkan pemerintah sekarang ini diakui Widyanto sudah terjadi sejak zaman penjajahan sehingga sangat berpeluang menciptakan kerentanan traumatik. Pembukaan lahan tidak hanya berdampak pada keseimbangan alam tetapi juga keadaan sosial pada masyarakat yang terdampak. Pasalnya, para penduduk asli yang hidup di sekitar hutan diberi janji-janji dan harapan palsu oleh pemerintah. 

Berbagai macam cara digunakan untuk mendapatkan tanah-tanah yang ada di sana. “Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik internal dalam masyarakat dikarenakan politik penguasaan tanah. Tanah mereka diambil namun kesejahteraan tidak mereka dapatkan,” katanya.

Untuk menghindari potensi konflik dengan masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal disekitar hutan,  Antropolog UGM, Dr. Laksmi Adriani Savitri pemerintah diharapkan untuk meninjau ulang rencana pembukaan hutan seluas 20 juta hektar. “Masyarakat kita ingin diajak duduk dan bicara secara setara,” ungkapnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya