Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pakar UGM Soroti Pentingnya Perlindungan Anak di Ruang Digital

Agus Utantoro
18/1/2025 11:47
Pakar UGM Soroti Pentingnya Perlindungan Anak di Ruang Digital
Ilustrasi(freepik.com)

PENELITI CfDS (Center for Digital Society) Hafiz Noer mengatakan, perlindungan anak-anak di ruang digital bisa dimulai dengan peningkatan literasi digital dan kecakapan digital  salah satunya dengan memasukkan pelajaran literasi digital sempat diusulkan agar dimasukkan dalam kurikulum merdeka. Jenis pelajaran ini ujarnya, merupakan pengembangan lebih lanjut dari mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di kurikulum tingkat satuan pendidikan. 

"Sayangnya, pada  akhirnya pembelajaran digital tidak dimasukan sebagai mata pelajaran utama melainkan hanya sebagai bimbingan belajar. Harus dipahami adanya perbedaan antara kecakapan digital dan literasi digital. Memang penting untuk memahami cara menggunakan perangkat Word, membuat coding, tapi jauh lebih penting untuk mempelajari etiket dan netiket berdigital,” kata Hafiz Noer di kampusnya, Sabtu.

Menurutnya, untuk membuat masyarakat lebih selektif dan bijak di ruang digital, literasi digital seharusnya menjadi prioritas dengan memposisikan masyarakat sebagai pengguna. 

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia menyatakan akan merancang kebijakan mengenai perlindungan anak-anak di ruang digital. Inisiasi tersebut didasarkan pada perintah Presiden Prabowo agar lebih memperhatikan konsumsi digital masyarakat, khususnya kelompok anak-anak di bawah umur.

Lebih lanjut ia mengatakan perlindungan anak-anak di ruang digital bisa dimulai dengan peningkatan literasi digital dan kecakapan digital. Mata pelajaran literasi digital sempat diusulkan agar dimasukkan dalam kurikulum merdeka. Jenis pelajaran ini, ujarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di kurikulum tingkat satuan pendidikan. 

Sayangnya, pada  akhirnya pembelajaran digital tidak dimasukan sebagai mata pelajaran utama melainkan hanya sebagai bimbingan belajar. “Dibedakan antara kecakapan digital dan literasi digital. Memang penting untuk memahami cara menggunakan perangkat Word, membuat coding, tapi jauh lebih penting untuk mempelajari etiket dan netiket berdigital,” imbuhnya. 

Dikatakan untuk membuat masyarakat lebih selektif dan bijak di ruang digital, literasi digital seharusnya menjadi prioritas dengan memposisikan masyarakat sebagai pengguna. 

Selain pembelajaran, pemerintah mempunyai pilihan untuk menelaah kebijakan-kebijakan perusahaan penyedia platform digital seperti X, Meta, YouTube, TikTok, dan lainnya. Beberapa platform, khususnya media sosial telah mengembangkan content guidelines atau community guidelines untuk menyaring informasi. Seperti X misalnya, terdapat fitur community notes yang memungkinkan pengguna menambahkan catatan atau melabeli konten misinformasi.

“Kita tidak bisa mengeneralisasi kebutuhan dan kondisi literasi digital, karena setiap platform menggambarkan pengguna yang berbeda. Tapi menurut saya masih perlu banyak upaya,” kata Hafiz.

Menurut dia dampak digitalisasi ini tidak hanya bagi anak-anak saja, namun juga orang tua dan lansia. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Urgensi literasi digital bisa dilihat dengan berbagai perkembangan misinformasi seperti penggunaan DeepFake dan AI Generatif. Hal ini bisa dilihat dalam survei nasional oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) terhadap 1.200 masyarakat Indonesia. Sebanyak 33,3% dari 11,8% responden yang pernah melihat konten DeepFake menyatakan percaya konten tersebut benar. Parahnya, 4,1% responden yang melihat konten DeepFake lainnya mengaku pernah membagikan konten tersebut.

Melihat masifnya produksi konten digital dan persebarannya tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Hafiz menambahkan, Komdigi bisa berkolaborasi dengan aliansi anti-hoaks dan pakar-pakar digital di masyarakat. “Kami di CfDS punya berbagai program kerja sama dengan organisasi lain seperti Mafindo. Harapannya gerakan masyarakat ini bisa terus didukung oleh pemerintah,” tutupnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya