Walhi: Rencana Pengembangan Hutan Bioetanol Rugikan Lingkungan dan Masyarakat

Atalya Puspa
16/12/2024 11:10
Walhi: Rencana Pengembangan Hutan Bioetanol Rugikan Lingkungan dan Masyarakat
Petugas menggunakan perahu melakukan monitoring kawasan hutan mangrove di Taman Wisata Alam Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (19/11/2024).(MI/USMAN ISKANDAR)


RENCANA Kementerian Kehutanan untuk mengembangkan hutan bioetanol memicu pro dan kontra. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menyatakan bahwa konsep hutan bioetanol tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Pasalnya, hutan bioetanol sebenarnya merupakan kebun monokultur, bukan ekosistem hutan yang kaya dengan biodiversitas.

“Hutan itu adalah keberagaman ekosistem, keberagaman tumbuhan hutan, pohon-pohon hutan, dan biodiversitas yang kaya. Sedangkan bioetanol itu dia kebun monokultur," kata Uli saat dihubungi, Senin (16/12). 

Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyiapkan kawasan hutan untuk bioetanol. Hal tersebut dilakukan sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, untuk mendukung swasembada pangan dan energi.

Sebagai contoh nyata, Uli merujuk pada pembukaan lahan hutan di Merauke, Papua, untuk food estate dan kebun tebu yang diperuntukkan bagi produksi bioetanol. Proyek tersebut, kata Uli, tidak hanya menghasilkan deforestasi besar-besaran, tetapi juga melanggar hak asasi manusia, terutama hak masyarakat adat. 

“Masyarakat adat tidak pernah dilibatkan sama sekali. Tidak ada partisipasi penuh dan bermakna dari mereka untuk menentukan seperti apa kepengurusan wilayah adat mereka,” ujarnya.  

Uli menekankan bahwa masyarakat adat memiliki hubungan yang erat dengan wilayah adat dan hutan. Hutan adat bagi mereka bukan hanya sumber penghidupan tetapi juga identitas. Perubahan lanskap hutan menjadi kebun tebu tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat secara langsung. 

Konversi hutan menjadi hutan bioetanol juga dinilai akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk sumber pangan dan obat-obatan lokal. Selain itu, hal ini juga berpotensi memicu bencana ekologis seperti banjir dan longsor, serta menyumbang emisi gas rumah kaca dalam skala besar. “Dalam konteks yang lebih besar lagi, ini akan berkontribusi pada krisis iklim,” tegas Uli.  

WALHI memandang bahwa bioetanol, sebagai bagian dari transisi energi, justru dapat menciptakan masalah baru apabila dikelola dalam kerangka bisnis semata. Menurut Uli, transisi energi seharusnya dilakukan dengan prinsip keadilan, baik bagi masyarakat maupun lingkungan. 

“Energi itu adalah hak, bukan komoditas. Tugas negara adalah memastikan hak masyarakat terhadap energi itu bisa terwujud,” kata dia. 

Uli menegaskan pentingnya memastikan bahwa transisi energi memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak. 

“Ada pertanyaan ekonomi politik yang harus dijawab, seperti, untuk siapa lahan itu dikelola, siapa yang menikmatinya, dan apa dampaknya,” pungkasnya. 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya