Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Tak Ingin Direlokasi dari Taman Nasional Tesso Nilo, Warga Enam Desa Minta Kebijakan Ditinjau Ulang

Rudi Kurniawansyah
12/7/2025 09:34
Tak Ingin Direlokasi dari Taman Nasional Tesso Nilo, Warga Enam Desa Minta Kebijakan Ditinjau Ulang
Ilustrasi(https://tntessonilo.menlhk.go.id/)

MEREKA sudah membangun rumah, membesarkan anak-anak, mendirikan sekolah, masjid, pura, dan gereja. Tapi kini, puluhan ribu warga di enam desa itu justru diklaim sebagai perambah kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Mereka diminta relokasi mandiri sebelum 22 Agustus 2025.

“Kami bukan musuh hutan, kami bagian dari alam yang kami jaga,” kata Abdul Aziz, Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Jumat (11/7).

Ia menjelaskan, kawasan yang kini disebut Taman Nasional itu dulunya merupakan wilayah bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Menurut Aziz, dari awal, keberadaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) itu sangat penting, terutama di Riau yang dikenal memiliki lahan luas. Namun ketika Penertiban itu sampai ke Taman Nasional dan masyarakat disebut sebagai perambah, membuat mereka terkejut.

“Kami harus sudah relokasi mandiri dari sana tanpa kami dikasihkesempatan untuk melakukan pembelaan diri secara hukum. Bagaimana proses hadirnya areal yang kami tempati itu menjadi Taman Nasional, juga tidak dikaji ulang. Padahal sedari awal proses hadirnya Taman Nasional itu telah bermasalah. Namun itu seolah enggak ada dan kami yang dipersalahkan, ” ujarnya.

Ia menjelaskan, hasil inventarisasi BKSDA tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan yang sekarang disebut Taman Nasional bukan lagi hutan primer. Dari data itu, hutan dengan kerapatan kayu di atas 70 persen hanya tersisa sekitar 10 ribu hektare. Sementara yang berkepadatan 40–70 persen hanya 8 ribu hektare.

“Kalau merujuk pada PP 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, Taman Nasional itu harusnya masih alami. Tapi kawasan ini dulunya adalah HPH PT Dwi Marta, lalu diteruskan oleh Inhutani. Bahkan saat ditunjuk menjadi Taman Nasional, sudah ada hampir 4 ribu hektare yang dikuasai masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, dalam proses penataan batas kawasan hutan, semestinya hak-hak masyarakat yang telah lebih dulu ada di sana, harus dikeluarkan dari kawasan. Ini malah diambil. 

“Sama seperti penunjukan Taman Nasional tahap pertama,  penunjukan perluasan Taman Nasional di tahun 2009, arealnya juga bukan hutan murni lagi, karena sebelumnya bekas HPH PT Nanjak Makmur. Hasil identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF tahun 2010 bahkan menyebut lebih dari 28 ribu hektare areal yang ditunjuk menjadi Taman Nasional itu, sudah dikuasai oleh masyarakat,” tambahnya.

“Areal itu bekas HPH, belakangan, kami yang tinggal di sana dikatakan perambah dan pendatang yang merusak hutan. Sangat menyakitkan dituduh seperti itu. Orang yang tak tahu sejarah Taman Nasional itu akan percaya saja. Sebab dalam benak mereka, itu Taman Nasional, hutan rimba, padahal, sudah bekas tebangan perusahaan” tuturnya.

Aziz menegaskan bahwa Taman Nasional itu baru memiliki batas definitif pada tahun 2011. Mestinya hak-hak masyarakat yang sudah ada, dikeluarkan dari areal yang jadi Taman Nasional. Tapi itu tidak dilakukan. Akhirnya masyarakat terperangkap.

Ia juga menyoroti klaim bahwa kawasan tersebut adalah paru-paru dunia. “Kami anggap itu tidak benar. Dari data Direktorat Jenderal KSDAE, yang diakui internasional sebagai paru-paru dunia di Riau itu adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Bukit Batu, bukan Taman Nasional ini. Itu ditetapkan dalam konvensi di Jeju, Korea Selatan, tahun 2019,” ucapnya.

Aziz menegaskan, masyarakat bukan tidak cinta lingkungan. Bahkan mereka sudah menanam pohon di sana. Bahkan Ia menyindir program penghijauan satu juta pohon yang selama ini sering digaungkan. 

"Coba dilihat, pohonnya ada di mana? Jangan masyarakat disuruh tanam satu-dua pohon, tapi pemerintah malah kasih izin menebangi hutan puluhan ribu hektare ke korporasi," sebutnya.

Aziz menyebutkan enam desa yang diklaim berada di kawasan Taman Nasional yaitu Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau. Jumlah jiwa yang terdampak mencapai sekitar 25 ribu orang. Di Desa Lubuk Kembang Bunga saja, tiga dusunnya sudah dihuni lebih dari 10 ribu orang.

“Di sana sudah ada fasilitas ibadah dan sekolah, semuanya dibangun swadaya. Tapi kini kami dipaksa memilih antara keluar atau bertahan. Kalau keluar, mau ke mana? Apakah ini tidak akan menambah pengangguran atau gelandangan?," terangnya.

Ia menegaskan bahwa masyarakat siap menjaga hutan bersama pemerintah. “Kalau memang klaimnya masyarakat menguasai 60 ribu hektare lahan yang disebut Taman Nasional itu, ada lahan luas milik negara yang jadi konsesi perusahaan di dekat Taman Nasional. Ambil itu 75 ribu hektare, biar kami hijaukan, hutankan. Kami siap menyisihkan uang sawit kami Rp500 ribu per hektare per tahun. Itu setara Rp30 miliar per tahun atau Rp2,5 miliar per bulan. Itu cukup untuk penghijauan. Tak hanya menghijaukan, kami juga siap menjaganya," tegasnya.

Usulan ini, kata Aziz, sudah disampaikan dalam pernyataan tertulis saat diundang oleh Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI pada 2 Juli lalu. “Kami bukan sekadar menuntut hak, tapi juga memberi solusi," ungkapnya.

Sebagai bentuk keseriusan, masyarakat bahkan berseloroh ingin didirikan enam pos militer untuk menjaga hutan yang dihadirkan oleh masyarakat secara swadaya itu. 

“Biarkan kami yang bangun rumah bagi gajah dan satwa lain tak jauh dari tempat kami tinggal. Insya allah kami bisa dan mari kita jaga bersama," pungkasnya.(H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya