Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

55% Anak Perempuan di Indonesia Terjerat Praktik P2GP Sunat Perempuan

Devi Harahap
30/9/2024 17:09
55% Anak Perempuan di Indonesia Terjerat Praktik P2GP Sunat Perempuan
Plt. Sekretaris KPPPA, Titi Eko Rahayu.(MI/Devi Harahap)

Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Titi Eko Rahayu menyatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. 

“Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” ungkap Titi Eko Rahayu di Jakarta pada Minggu (29/9). 

Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan, Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktekkannya. Praktik yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat.

Baca juga : Kementerian PPPA : 55% Anak Perempuan di Indonesia jadi Korban Sunat

Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021 menyebutkan 55% anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan). Sementara itu, berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan. 

Titi Eko memaparkan, banyaknya praktek sunat perempuan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya dimana perempuan itu tinggal. Tiga alasan tertinggi yaitu adanya norma agama, pengaruh lingkungan hingga alasan kesehatan

“Pertama mengikuti perintah agama sebanyak 68,1 persen, kedua karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya sebanyak 40,3 persen dan ketiga alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan sebanyak 40,3 persen,” paparnya. 

Baca juga : Peta Jalan Penghapusan Sunat Perempuan Harus Tekankan Aspek Pemulihan Korban

Titi menurunkan pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Dikatakan bahwa perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. 

“Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tegas Titi Eko.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan) 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019 dan disusun bersama dengan para stakeholder dari lintas Kementerian/Lembaga dan organisasi masyarakat. 

Baca juga :  Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak Dibentuk, KPPPA Harap Penanganan Kasus Kekerasan Lebih Cepat

Menjelaskan Menjelang setengah perjalanan pelaksanaan Roadmap P2GP, Titi menjelaskan pihaknya akan melaksanakan pertemuan nasional bersama dengan para pemangku kepentingan dari lintas sektor untuk mendorong komitmen dan penguatan implementasi.

“Untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, hari ini kita berupaya memperkuat  dan membangun strategi lebih lanjut agar pelaksanaan implementasi Roadmap Pencegahan P2GP yang sudah berjalan selama empat tahun ini bisa memberikan dampak lebih besar,” ujarnya. 

Titi menilai penting untuk terus mengevaluasi dan mendiskusikan strategi yang akan dilaksanakan sampai 2030. Dikatakan bahwa hingga kini pihaknya bersama United Nations Population Fund (UNFPA) akan terus melakukan strategi pencegahan P2GP, mengkampanyekan dan mengedukasi “STOP Praktik Sunat Perempuan” kepada stakeholder dan masyarakat. 

Baca juga : Komnas Perempuan Apresiasi Penghapusan Sunat Perempuan pada PP 28/2024

“Kami berharap semua pihak bisa ikut berkolaborasi, bekerjasama, bersinergi dalam upaya mencegah tindakan sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis. Semua orang bisa kita edukasi dan libatkan mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, pemerintah, serta media,” jelasnya.

Sementara itu, Asisten Representative United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, Verania Andria mendukung upaya Kemen PPPA dalam menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk praktik sunat perempuan.

“UNFPA sangat mengapresiasi upaya Kemen PPPA dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Kami bersama Kemen PPPA, Kementerian/Lembaga dan organisasi lainnya akan terus berupaya menyusun data yang menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam mengentaskan masalah FGM/C atau P2GP ini,” imbuhnya. 

Melalui pelaksanaan survei SPHPN di tahun 2024 lanjut Verania, bisa menyusun action plan yang lebih komprehensif untuk menghapuskan sunat perempuan. 

“Meskipun permasalahan ini terlihat kecil, tapi sebenarnya hal ini bisa menjadi kunci untuk mencapai masa depan yang bebas dari diskriminasi khususnya bagi perempuan,” jelasnya. 

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi dalam mencegah praktik sunat perempuan. Dijelaskan bahwa Gorontalo menjadi provinsi dengan praktik sunat tertinggi.

“Namun belum ada masyarakat yang melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian sehingga upaya penghapusan praktik sunat perempuan masih sulit dilaksanakan. Meski begitu, keluhan terhadap kondisi biologis perempuan yang telah disunat seperti seksualitasnya menurun dirasakan oleh perempuan di lokasi tersebut,” tuturnya.

Hasil survey tentang pengetahuan masyarakat Gorontalo terkait aturan yang melarang praktik P2GP menunjukkan 57,9% masyarakat tidak mengetahui. Temuan lainnya dalam survei yakni beberapa pihak yang ada dalam roadmap tidak tahu bahwa institusi/lembaga mempunyai mandat dalam Roadmap tersebut baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga upaya sinergi dan kolaborasi antar pihak perlu dikuatkan.

Perwakilan Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Marcella Dwi Putri menyampaikan bahwa upaya perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan merupakan salah satu satu indikator pada RPJMN 2025-2029. Sunat perempuan yang menjadi salah satu jenis kekerasan perlu menjadi perhatian karena sudah masuk dalam RPJMN. 

“Lebih lanjut, indikator tersebut nantinya akan masuk ke dalam rencana strategis kementerian dan membuka kesempatan bagi kerjasama lintas sektor untuk menangani masalah tersebut,” tandasnya. (S-1)
 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya