Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kementerian PPPA : 55% Anak Perempuan di Indonesia jadi Korban Sunat

Devi Harahap
29/9/2024 15:41
Kementerian PPPA : 55% Anak Perempuan di Indonesia jadi Korban Sunat
Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Titi Eko Rahayu(Devi Harahap/MI.)

 

SEBANYAK 55%  anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia menjadi korban sunat perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan). Hal itu didasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021. Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Titi Eko Rahayu menyatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. 

“Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” ungkap Titi Eko Rahayu di Jakarta pada Minggu (29/9). 

Baca juga : Peta Jalan Penghapusan Sunat Perempuan Harus Tekankan Aspek Pemulihan Korban

Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan, Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktekkannya. Praktik yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun- temurun di masyarakat.

Titi Eko memaparkan, banyaknya praktek sunat perempuan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya di mana perempuan itu tinggal. Tiga alasan tertinggi, terang dia, yaitu adanya norma agama, pengaruh lingkungan hingga alasan kesehatan

“Pertama mengikuti perintah agama sebanyak 68,1 persen, kedua karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya sebanyak 40,3 persen dan ketiga alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan sebanyak 40,3 persen,” paparnya. 

Baca juga :  Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak Dibentuk, KPPPA Harap Penanganan Kasus Kekerasan Lebih Cepat

Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia, ujar dia, pada umumnya dilakukan sejak kecil. Dikatakannya perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. 

“Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tegas Titi Eko.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan) 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019 dan disusun bersama dengan para stakeholder dari lintas Kementerian/Lembaga dan organisasi masyarakat. 

Baca juga : Komnas Perempuan Apresiasi Penghapusan Sunat Perempuan pada PP 28/2024

Menjelaskan Menjelang setengah perjalanan pelaksanaan Roadmap P2GP, Titi menjelaskan pihaknya akan melaksanakan pertemuan nasional bersama dengan para pemangku kepentingan dari lintas sektor untuk mendorong komitmen dan penguatan implementasi.

“Untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, hari ini kita berupaya memperkuat  dan membangun strategi lebih lanjut agar pelaksanaan implementasi Roadmap Pencegahan P2GP yang sudah berjalan selama empat tahun ini bisa memberikan dampak lebih besar,” ujarnya. 

Titi menilai penting untuk terus mengevaluasi dan mendiskusikan strategi yang akan dilaksanakan sampai 2030. Dikatakan bahwa hingga kini pihaknya bersama United Nations Population Fund (UNFPA) akan terus melakukan strategi pencegahan P2GP, mengkampanyekan dan mengedukasi “STOP Praktik Sunat Perempuan” kepada stakeholder dan masyarakat. 

“Kami berharap semua pihak bisa ikut berkolaborasi, bekerjasama, bersinergi dalam upaya mencegah tindakan sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis. Semua orang bisa kita edukasi dan libatkan mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, pemerintah, serta media,” jelasnya. (H-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya