Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Rektor UMY Kritisi Kebijakan Ketahanan Pangan

Ardi Teristi
24/9/2024 09:15
Rektor UMY Kritisi Kebijakan Ketahanan Pangan
Warga antre membeli gula pasir saat kegiatan pasar murah sembako di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (17/5/2024).(ANTARA/YUSUF NUGROHO)

KEBIJAKAN atau keputusan hukum impor dan ekspor pangan di Indonesia memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada ketahanan pangan. Oleh sebab itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., IPM., ASEAN Eng pun mengkritisi kebijakan pemerintah terkait hal tersebut.

Menurut dia, ketahanan pangan ini dilihat dari beberapa aspek, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Nampaknya, kini ketahanan pangan di Indonesia banyak mendapatkan pengaruh dari adanya campur tangan politik di dalamnya.

Untuk menjaga ketahanan pangan di Indonesia, kebijakan pemerintah seharusnya lebih memperhatikan para petani. "Apabila petani disediakan atmosfer yang tepat, justru potensinya akan sangat luar biasa," terang dia saat Masa Ta'aruf (Mataf) Mahasiswa Baru UMY, di Sportorium UMY, pada Senin (23/9)

Baca juga : Unma Tindak Tegas Dekan terkait Manipulasi Nilai Mahasiswa

Menilik balik beberapa kejadian pada tahun 1998 dan saat pandemi covid-19, Gunawan melihat petani di Indonesia memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik. Hal tersebut dilihat dari adanya upaya perubahan sistem ekonomi yang dilakukan petani menjadi barter di beberapa wilayah.

"Selama ini petani masih kurang dibimbing untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan maksimal. Namun, yang terjadi saat ini pangan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh keputusan politik, sehingga kebijakannya selalu berkaitan dengan impor. Kegiatan impor ini tentu saja hanya menguntungkan beberapa pihak saja," jelas Gunawan.

Untuk menuju ketahanan pangan yang baik, Gunawan menyebutkan pemerintah perlu melakukan pembentukan kelompok tani dan Koperasi Unit Desa (KUD) seperti pada saat orde baru. KUD pada saat zaman orde baru menurutnya bisa memerdekakan petani secara ekonomi, sehingga para petani dapat merancang proses budidaya tanaman yang ingin dilakukan.

Baca juga : Undip Pastikan Belum Kuliah Tatap Muka di Semester Depan

Hal senada juga disampaikan Oki Wijaya, S.P., M.P, Dosen Program Studi Agribisnis. Ia mengatakan, sebenarnya pelaksanaan impor dan ekspor sangat diperbolehkan untuk dilakukan, karena perdagangan luar negeri memberikan manfaat. Namun, hal tersebut perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.

"Hal ini agar impor yang dilakukan tidak menimbulkan excess supply (situasi dimana jumlah barang yang ditawarkan lebih besar dari jumlah permintaan). Sebab ini akan berdampak pada jatuhnya harga pangan di bawah harga pasar sehingga dapat merugikan petani sebagai produsen," kata Oki. 

Berkaitan dengan pelaksanaan impor beras, Oki merasa bahwa pemerintah Indonesia belum melaksanakan impor dengan sebagaimana mestinya. Ini diindikasikan dengan adanya kelebihan cadangan pangan yang pernah terjadi, dan justru menyebabkan kelebihan biaya pada biaya penyimpanan yang ditanggung oleh Bulog.

Dampak pelaksanaan impor beras yang kurang baik dapat kita rasakan juga saat ini, sebagai contoh Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia jauh lebih mahal 20 persen dibandingkan harga beras di pasar global. Bahkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara tetangga ASEAN lainnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya