Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kemen PPPA Refleksikan 5 Tahun Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dalam Kebencanaan

Devi Harahap
22/8/2024 19:31
Kemen PPPA Refleksikan 5 Tahun Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dalam Kebencanaan
Demo hapus kekerasan teahadap perempuan.(MI/Usman Iskandar)

KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama UNFPA, melaksanakan diseminasi hasil pembelajaran sub klaster Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender, dan Pemberdayaan Perempuan (PP KBG PP) selama lima tahun terakhir (2018-2023).

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati menyampaikan PPPA sebagai koordinator sub klaster KBG berkomitmen untuk melindungi perempuan, anak, dan kelompok rentan dari risiko tinggi kekerasan di situasi bencana lewat Peraturan Menteri PPPA Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana.

"Peraturan tersebut menjadi landasan kuat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender. Kemen PPPA sebagai koordinator sub klaster PP KBG PP, berkomitmen untuk melindungi perempuan, anak, dan kelompok rentan dari risiko kekerasan dalam situasi bencana,” ujarnya di Jakarta pada Kamis (22/8).

Baca juga : Juni 2023, Aturan Turunan UU TPKS Dijanjikan Rampung

Ratna mengungkapkan kerja sama dengan UNFPA tersebut diharapkan dapat mengembangkan panduan, standar, dan prosedur operasional yang efektif. Dijelaskan bahwa PPPA didukung UNFPA dan berkoordinasi dengan BNPB serta Kementerian Sosial, telah menginisiasi sub klaster PP KBG PP sebagai mekanisme koordinasi pentahelix.

“Sistem ini telah diimplementasikan di tingkat nasional dan daerah, dengan tujuan membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Sejak tahun 2018 hingga 2024, telah terbentuk 12 sub klaster di berbagai daerah, didukung oleh regulasi daerah dan program orientasi standar minimal,” katanya.

Ratna juga menggarisbawahi peran penting perempuan dalam upaya mitigasi bencana. Ia menyoroti fakta bahwa perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling rentan dalam situasi darurat, namun juga bisa menjadi relawan yang tangguh dan berkontribusi signifikan dalam penanggulangan bencana. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas perempuan menjadi fokus utama dalam program-program yang akan datang.

Baca juga : Kenali Femisida, Kekerasan Paling Ekstrem terhadap Perempuan

“Perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya umumnya mengalami dampak yang lebih signifikan dan peningkatan kerentanan dalam situasi bencana. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar, perpisahan dari keluarga dan komunitas, serta kurangnya privasi dan bantuan kemanusiaan yang responsif gender,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ratna mengungkapkan situasi bencana secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya kekerasan, bahkan hingga empat kali lipat dibandingkan kondisi normal. Kenaikan kasus kekerasan telah tercatat dalam beberapa peristiwa bencana besar seperti di Aceh 2005-2006, Padang 2010, dan Sulawesi Tengah 2018-2019.

“Kekerasan berbasis gender merupakan ancaman serius yang membayangi perempuan dan anak perempuan, baik sebelum maupun selama bencana. Kenaikan signifikan kasus KBG dalam situasi darurat mengharuskan kita untuk bertindak tegas dan proaktif. Pencegahan dan penanganan KBG harus menjadi prioritas utama, tanpa menunggu adanya bukti konkret. Adanya potensi ancaman sudah cukup menjadi alasan kuat untuk mengambil tindakan preventif,” ujar Ratna.

Baca juga : KDRT Tandai Perempuan Belum Merdeka di Saat HUT ke-79 Indonesia

Sementara itu, Assistant Representative UNFPA, Verania Andria menyampaikan bahwa pihaknya terus mendukung PPPA dalam mengembangkan peraturan, panduan, standar minimum, prosedur operasional standar, serta penguatan koordinasi.

“UNFPA berkomitmen untuk terus mendukung Pemerintah Indonesia dalam memastikan kebutuhan perempuan dan anak perempuan terpenuhi selama krisis kemanusiaan, sehingga mereka dapat tetap aman dan bermartabat. Kami akan terus memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender melalui regulasi, koordinasi lintas sektor, dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan,” ujar Verania.

Humanitarian Programme Analyst UNFPA Indonesia, Elisabeth Sidabutar menuturkan hasil asesmen di lima area terdampak bencana (Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Jawa Barat) yang terangkum dalam Kaji Cepat Risiko Kekerasan Berbasis Gender dan Audit Keamanan/Keselamatan sub klaster PP KBG PP menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi perempuan yang masih ada di dalam penanggulangan bencana.

Baca juga : Kementerian PPPA Luncurkan Laporan Data Kekerasan

“Kaji cepat ini menunjukkan bahwa penanganan pengungsian masih belum sepenuhnya sensitif gender dan inklusif memadai. Dibutuhkan advokasi berkelanjutan dan kolaborasi lintas sektor yang lebih serius dan terstruktur untuk mengurangi risiko kekerasan berbasis gender dalam penanggulangan bencana,” jelasnya.

Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Prasinta Dewi yang turut hadir juga menyampaikan ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia, dan disabilitas atau Sex, Age, Disability Disaggregated Data (SADDD) juga menjadi kunci.

"Data SADDD memungkinkan respons bencana yang lebih inklusif dan tepat sasaran, memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal. Melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana, BNPB terus berupaya mengintegrasikan pencegahan dan penanganan KBG ke dalam seluruh aspek koordinasi dan mekanisme perlindungan dalam kebencanaan,” pungkasnya. (S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya