Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Pembagian Alat Kontrasepsi Pada Pelajar Dinilai Keliru

Devi Harahap
05/8/2024 17:22
Pembagian Alat Kontrasepsi Pada Pelajar Dinilai Keliru
Alat kontrasepsi kondom.( MI/JHONI KRISTIAN)

PENYEDIAAN alat kontrasepsi untuk pelajar merupakan kebijakan yang tak masuk akal dan salah kaprah. Seperti diungkapkan aktivis perempuan dan anak yang juga Direktur Utama Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari. 

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, salah satunya mengatur penyediaan alat kontrasepsi. ''Kebijakan pembagian alat kontrasepsi itu akan menjadi sangat aneh jika kemudian para pelajar tidak dikenalkan dengan pendidikan tentang kesehatan reproduksi. Jika tiba-tiba dibagikan (kontrasepsi) bisa saja akan jadi salah paham,” katanya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Senin (5/8).

Eva menjelaskan PP yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja itu perlu diperjelas, sehingga tidak terjadi salah persepsi di masyarakat seperti adanya dukungan pemerintah terkait hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja. Alih-alih membagikan alat kontrasepsi, Eva mengatakan lebih utama untuk diberikan edukasi kesehatan reproduksi pada remaja.

Baca juga : Komisi X Kecam Terbitnya Aturan Penyediaan Alat Kontrasepsi bagi Siswa Sekolah

“Seharusnya ada tahapan, harus ada pendidikan tentang kesehatan reproduksi, dengan memberikan kemampuan untuk bagaimana remaja bisa mempertahankan atau lebih cerdas mengelola alat reproduksi,” jelasnya.

Menurut Eva, jika pemerintah telah melakukan pendidikan terkait kesehatan alat reproduksi kepada para pelajar secara masif dan mereka mampu berdaulat atas tubuhnya, ia meyakini kebijakan pemberian alat kontrasepsi tidak dibutuhkan.

“Setelah semua itu dilakukan dan ketika kita cek hasil pendidikan itu, bisa jadi kita tidak perlu membagikan alat kontrasepsi itu karena masyarakat kita menjunjung norma-norma agama,” imbuhnya.

Baca juga : PSAAT 2024 Jadi Momentum untuk Tingkatkan Prestasi Pelajar

Jika tujuan pemerintah hendak menekan angka kehamilan dini dan pernikahan dini akibat dampak seks bebas, Eva menekankan bahwa pembagian alat kontrasepsi adalah hal yang keliru. Ia justru mendorong agar pemerintah lebih dulu membangun mentalitas para remaja melalui pendidikan seks lewat kurikulum.

“Tahapan pendidikan seks dan kesehatan alat reproduksi itu jangan dilompati. Pembagian itu tidak diperlukan jika anak sudah paham dan mampu berpikir atas kedaulatan tubuhnya dan bisa berbicara ‘say no’ pada segala bentuk seksualitas. Tapi, jika tidak ada pendidikan seksualitas dan pendidikan kesehatan reproduksi di dalam kurikulum sekolah, maka percuma saja, justru pembagian itu akan menjadi disalah dipahami sebagai dukungan untuk melakukan seks,” jelasnya.

Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat sebanyak 60% remaja usia 16-17 tahun di Indonesia telah melakukan seks di luar pernikahan. Angka itu diikuti, remaja usia 14-15 tahun sebanyak 20%, dan pada usia 19-20 sebanyak 20%.

Baca juga : Pelajar di Kota Balikpapan Ikuti Sosialisasi Industri Kelapa Sawit

Menurut Eva, tingginya angka tersebut disebabkan salah satunya karena tidak ada pendidikan seks dan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan tingkat menengah dan atas. Sehingga, para remaja minim pengetahuan atas kedaulatan tubuhnya dan keliru serta menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu.

“Hal yang paling urgent adalah bukan membagikan kontrasepsi, tapi mengubah kurikulum di sekolah supaya ada pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan skill agar remaja punya kedaulatan terhadap tubuhnya sehingga paham bahwa seks itu akan berujung hamil dan jika hamil, maka perempuan akan berada pada situasi rentan dan buntu,” katanya.

Eva mengatakan lebih baik pemerintah fokus membenahi sistem kurikulum dan konsep pendidikan yang inklusi terhadap pembelajaran kesehatan reproduksi anak dan remaja. Menurutnya, pencegahan lebih baik dilakukan melalui proses tahapan edukasi daripada pembagian alat kontrasepsi yang dapat disalah tafsirkan publik sebagai promosi dari seks bebas.

“Lebih baik berhenti dan jangan membagi-bagikan alat kontrasepsi tapi terlebih dahulu rombak konsep pendidikan di sekolah, agar mereka punya kedaulatan terhadap tubuh dan mengelola tubuhnya secara cerdas, bahwa tidak boleh melakukan seks di usia remaja,” pungkasnya. (S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya