Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
BELUM lama ini, sejumlah media membahas harga obat di Indonesia yang disebut beberapa kali lebih mahal daripada harga di Malaysia. Memang, untuk jenis obat paten/originator, harga di negara kita lebih mahal. Tapi, di Indonesia tersedia pilihan jenis obat lain yang lebih terjangkau, yaitu obat generik bermerek dan obat generik, dengan kualitas setara obat originatornya.
“Hasil pemeriksaan ulang IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) bekerja sama dengan MPS (Malaysia Pharmaceutical Society), untuk obat paten atau originator, secara umum memang di Indonesia lebih mahal daripada Malaysia. Hal itu karena faktor perpajakan di negara kita, juga volume penggunaan obat paten di Malaysia yang lebih besar. Jumlah unit obat originator yang dijual di Malaysia rata-rata 2-3 kali lebih besar secara volume daripada di Indonesia. Volume yang besar ini membuat harga di Malaysia menjadi lebih murah daripada di Indonesia,” terang Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) IAI, Noffendri Roestam, di Jakarta, Kamis (26/7/2024).
Meski demikian, lanjut Neffendri, masyarakat Indonesia tetap memiliki akses terhadap obat yang terjangkau karena ketersediaan obat generik dengan harga jauh lebih murah. “Setelah kami bandingkan antara harga obat paten di Malaysia dengan harga obat generik bermerek di Indonesia, harga obat di Indonesia jauh lebih murah. Apalagi jika dibandingkan dengan obat generik ataupun obat JKN (Jaminan Kesehatan Nasional),” imbuh Noffendri.
Baca juga : Etana Jalin Kerja Sama Strategis dengan BeiGene untuk Obat Imunoterapi Kanker
Ia menjelaskan, obat paten atau sering disebut originator adalah obat yang memiliki perlindungan paten, pada umumnya 15-20 tahun. Obat ini memperoleh paten karena merupakan obat pertama yang ditemukan dan dilengkapi dengan uji klinis lengkap tahap satu hingga tiga.
Setelah masa paten habis, obat tersebut boleh ditiru dan diproduksi oleh produsen lain sebagai obat generik, baik obat generik bermerek maupun obat generik. Sesuai namanya, obat generik bermerek memiliki merek tertentu pada kemasannya, sedangkan obat generik hanya mencantumkan nama zat aktif obat. Ketiga jenis obat ini, obat paten, generik bermerek, dan obat generik, memiliki perbedaan harga yang signifikan.
“Harga obat generik bermerek jauh lebih murah daripada obat paten, diperkirakan sekitar 30-50% lebih rendah, dan harga obat generik jauh lebih murah lagi daripada obat generik bermerek. Meski demikian, obat generik memiliki kualitas produk yang setara dengan originatornya karena produksinya mengikuti standar internasional, GMP (Good Manufacturing Practises) atau dikenal sebagai CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan juga sudah diperiksa oleh Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan). Salah satu syarat izin edar obat yang ditetapkan Badan POM adalah uji bioekivalensi. Untuk memperoleh izin edar, sebuah obat generik harus memiliki uji bioekivalensi yang hasilnya menunjukkan jumlah obat yang terserap dan terbuang di dalam tubuh sama persis dengan obat originatornya,” papar Noffendri.
Baca juga : Obat Sebaiknya tidak Disimpan di Mobil
Indonesia memiliki sekitar 190 perusahaan farmasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan dan 20 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Perusahaan farmasi PMA memegang hak memproduksi dan memasarkan obat yang masih dalam masa paten. Begitu masa patennya habis, sebagian besar pasarnya akan diambil alih oleh perusahaan PMDN melalui obat generiknya.
Saat ini, sebagian besar dari ketiga jenis obat tersebut tersedia dalam JKN dengan harga khusus. Harga obat JKN terbilang sangat murah, 93% dari kebutuhan tablet di bawah Rp500 per tablet, 77% dari kebutuhan obat sirop di bawah Rp5.000 per botol, dan 65% kebutuhan obat injeksi di bawah Rp2.000. Sebanyak 94,77% masyarakat Indonesia telah menjadi peserta JKN, akses mereka untuk memperoleh obat murah dan berkualitas bahkan gratis sudah terjamin melalui program pemerintah. Hal ini terlihat dari data penjualan obat di Indonesia, 81% obat yang beredar dan digunakan di Indonesia adalah obat generik dan obat generik bermerek.
“Masyarakat mempunyai kebebasan memilih obat yang sesuai dengan kemampuan ekonominya. Kami mendorong masyarakat untuk selalu berdiskusi dengan apoteker agar memilihkan obat generik yang sesuai sebagai langkah cepat mengurangi biaya obat. Kami juga mendorong masyarakat untuk mengikuti program JKN melalui BPJS Kesehatan agar mendapatkan pengobatan gratis,” pungkas Noffendri.
Baca juga : IPMG Dorong Percepatan Akses Obat-obatan, Vaksin Inovatif, dan Kemitraan
Sementara dari sisi distribusi, keberadaan Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebagai salah satu mata rantai di rantai pasok produk farmasi sangatlah penting. Keberadaan PBF terlegitimasi melalui Permenkes No.30 Tahun 2017 tentang Pedagang Besar Farmasi. “Eksistensi PBF dalam menjaga mutu obat terkawal dengan adanya sertifikasi CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) yang digawangi Badan POM. Sehingga, mutu produk kefarmasian mulai dari industri hingga ke fasilitas kesehatan terjaga dengan baik,” ujar Ketua Himpunan Seminat Farmasi Distribusi PP IAI, Hanky Febriandi, pada kesempatan sama.
Ia mengungkapkan, porsi biaya jasa PBF dalam komponen harga obat di Indonesia tidaklah signifikan, karena perolehan fee distribusi yang didapat dari produsen obat hanya berkisar 5-12%. “Fee tersebut diberikan dalam bentuk diskon pembelian. Artinya, harga yang ditawarkan ke fasilitas kesehatan adalah murni harga yang dipatok oleh industri. Adapun fee tersebut digunakan untuk biaya operasional, juga pengiriman.”
Bila PBF dihilangkan, lanjutnya, industri farmasi harus langsung berhubungan dengan konsumen, yaitu fasilitas kesehatan, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu di seluruh Indonesia, termasuk di pelosok. “Hal ini akan berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh industri yang ujungnya dimasukkan dalam harga obat yang harus ditanggung masyarakat,” ujar Hanky. (B-1)
Kontroversi terkait obat generik di Tiongkok mencuat setelah kekhawatiran dokter mengenai ketidakefektifan obat-obat tersebut.
Meskipun nama merek dapat bervariasi, kandungan obat generik harus sesuai dengan spesifikasi obat patennya.
Ketua Umum PP IAI menilai izin edar tidak mempengaruhi harga obat yang tersebar di Indonesia.
Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri Roestam menjelaskan tidak ada perbedaan antara obat paten dan generik. Keduanya memiliki kualitas setara.
YLKI juga melihat selama ini bahan baku obat masih impor dan dikenai bea masuk yang tinggi.
Kepala Badan POM Taruna Ikrar menjelaskan mengenai kopi berbahan kimia obat dengan klaim sebagai kopi kejantanan berdampak serius bagi kesehatan.
Waktu penyelesaian sertifikasi dipangkas dari 54 hari kerja menjadi 49 hari kerja.
Hasil uji laboratorium menunjukkan produk-produk tersebut tidak memenuhi standar keamanan Badan POM dan mengandung zat berbahaya seperti sildenafil sitrat dan natrium diklofenak.
Peresmian LPP SwipeRx adalah tonggak penting dalam menyediakan ruang pembelajaran modern dan berkelanjutan.
KEPALA Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Taruna Ikrar mengatakan terdapat 12 langkah pencegahan keracunan MBG.
KETIKA Indonesia terlibat dalam uji klinis vaksin M72, itu bukan sekadar urusan laboratorium atau statistik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved