Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
MEMASUKI gerbang Desa Sasak Sade ibarat melewati portal waktu. Geliat pembangunan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan modernitas yang semakin kencang seolah berhenti di gerbang berbentuk lumbung itu.
Beratapkan ilalang, berdinding bambu, dan berlantai tanah, rumah tradisional Sasak tersebut berdiri berjajar di Jalan Raya Praya-Kuta, Lombok Tengah. Pemandangan masyarakat lokal dengan pakaian tradisionalnya turut melipatgandakan kesan etnik dan identitas wilayah yang telah dikunjungi wisatawan sejak 1975 tersebut.
Dengan luas area sekitar 5,5 hektare, rumah-rumah di Sade dibangun dengan jarak yang tidak begitu lebar. Di situ pula tergantung kain-kain tenun yang kaya motif dan warna, gelang, kalung, dan manik-manik.
Baca juga : Nyanyi Sedih sang Maestro
Di beberapa titik, ada ibu-ibu yang sabar menanti pembeli, sedangkan di titik lainnya wisatawan mengerumuni perempuan Sasak yang sedang menenun. Maka, koridor itu pun menjadi ruang pengalaman kultural yang unik, termasuk menjadi tempat interaksi penduduk dan pelancong.
Semakin dalam menjelajahi koridor Sade, semakin beragam pengalaman indrawi yang penulis dapatkan. Dari dalam rumah yang berdinding anyaman bambu atau disebut bedeg itu terdengar hangatnya percakapannya dalam bahasa Sasak.
Bisa dirasakan pula kesibukan orang memasak di dapur, berikut harum bumbunya yang menguar keluar dari celah-celah dinding bambu. Tidak hanya dinding, bagian atap rumah juga masih berbahan alami dari ilalang. Semua pengalaman multisensori ini menerbangkan saya pada imaji tentang desa-desa masa lampau yang selama ini hanya didapatkan dari buku cerita dan sejarah.
Baca juga : Randai Pangkalan kian Menepi dalam Sepi
Adaptasi geografis
Sejatinya, Sade merupakan salah satu dusun dari 21 dusun yang ada di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut. Karena luasnya, Dusun Sade dibagi lagi menjadi lima subwilayah, yaitu Sade I, II, III, IV, dan V. Dari ke lima wilayah tersebut, Dusun Sade I yang masih mempertahankan bentuk rumah tradisional mereka.
Baca juga : Eksistensi Kerupuk, Antara Ada dan Tiada
Secara praktis, bentuk rumah Sade atau bale merupakan wujud adaptasi masyarakat Sasak terhadap lingkungan geografisnya. Dengan curah hujan berkisar 1500-2000mm/tahun, serta empat bulan musim pehujan dan delapan bulan musim kering, suhu rata-rata wilayah Sade berkisar antara 24-32 derajat celsius dengan tingkat kelembapan setinggi 80%.
Kondisi Itulah yang direspons masyarakat Sade dengan bentuk dan material bangunan tradisional mereka. Bentuk atap yang miring, misalnya, berfungsi untuk mengurangi efek tampias.
Sementara itu, anyaman bambu atau bedeg yang digunakan sebagai dinding, memungkinkan sirkulasi udara yang mengurangi kelembapan rumah. Lantai yang terbuat dari campuran tanah, abu, dan jerami juga mampu menjaga suhu. Selain fungsional, penggunaan bahan alami untuk pembangunan rumah itu memperkuat estetika rumah tradisional Sade.
Baca juga : Bertekad Cetak Banyak Penulis Tradisi Lisan, ATL Akan Gelar Lokakarya Penulisan
Gudang semiotika
Di sisi lain, rumah Sade merupakan gudang semiotika yang kaya. Mulai lokasi, orientasi arah bangunan, hingga interior dalam rumah Sade menyimpan nilai filosofis yang menarik.
Baca juga : Ritual Pratanam Masyarakat Pajjaiang
Sade dibangun di wilayah perbukitan, sekitar 250-300 mdpl. Pemilihan lokasi itu erat kaitannya dengan kepercayaan leluhur Sasak yang menganggap bahwa semakin tinggi suatu lokasi, semakin dekat pula lokasi tersebut dengan pusat kosmos (Subiyantoro, dkk, 2019).
Rumah Sasak dibangun dengan menghadap arah Barat dan Timur. Lukita, Tulistyantoro, dan Kattu (2016) berpendapat bahwa arah barat dan timur, atau arah matahari diasosiasikan sebagai keberkahan. Sementara itu, Subiyanto, dkk (2019) berpendapat bahwa orientasi itu dibentuk oleh kepercayaan masyarakat terhadap tuah Gunung Rinjani.
Di bagian eksterior, atap rumah Sade dibuat menjulang tinggi di belakang dan menurun rata di depan. Hal itu mengisyaratkan kesamarataan derajat manusia di hadapan Tuhan. Sementara itu, pintu pada rumah di Sade cenderung dibuat rendah agar siapa pun yang berkunjung ke dalam rumah Sade membungkukkan badan ketika memasuki rumah. Membungkukkan badan merupakan simbol penghormatan kepada tuan rumah (Lukita, Tulistyantoro, dan Kattu, 2016).
Baca juga : Ritual Penanda Identitas Dayak Lawangan
Saat memasuki bale, saya menyadari bahwa ruangan di dalamnya dibuat bertingkat. Ruang utama, tepat setelah pintu masuk, disebut dengan sesangkok. Menurut fungsinya, sesangkok dibagi menjadi dua bagian, yaitu sesangkok daya yang searah dengan Gunung Rinjani dan sesangkok lau yang searah dengan laut. Sesangkok daya berfungsi sebagai ruang makan dan ruang tamu. Di area itulah saya dan dua rekan saya diterima empunya rumah saat berkunjung ke Sade.
Sesangkok lau, sebaliknya dianggap sebagai wilayah yang lebih privat. Wilayah itu ialah tempat laki-laki tidur. Konon, sebelum Islam datang, mayat anggota keluarga yang meninggal akan diinapkan di sesangkok lau sebelum dimakamkan keesokan harinya, dengan posisi kepala menghadap ke utara, arah Gunung Rinjani (Subiyantoro, dkk, 2019).
Ruangan bagian atas disebut dengan langen dalem. Ruangan itu merupakan tempat perempuan tinggal. Langen dalem dibagi menjadi dua ruangan, yaitu dalem bale, yang berfungsi sebagai dapur dan tempat tidur perempuan yang sudah menikah, dan bale dalem, yang berfungsi sebagai tempat melahirkan, menyimpan barang berharga, dan kamar tidur perempuan yang belum menikah.
Baca juga : 36 Pemenang Menulis Cerpen FTBI Sumatera Selatan Mengikuti Kemah Cerpen
Bale dalem dianggap sebagai tempat yang sakral, masyarakat Sasak menempatkan anak perempuan mereka di sana sebagai simbol perlindungan. Hal itu terkait dengan tradisi kawin culik yang terdapat di wilayah Lombok. Bale dalem cukup aman karena satu-satunya akses untuk melewatinya ialah sesangkok.
Sementara itu, dalem bale difungsikan sebagai pawon, tempat membuat sesaji dan tempat tidur perempuan yang telah menikah. Pada dalem bale, terdapat kompor tradisional yang terbuat dari tanah liat yang disebut dengan jangkih, peralatan masak tradisional yang biasanya dipakai untuk ritual dan upacara adat.
Ruangan atas (langen dalem) dan bawah (sesangkok) dihubungkan dengan tiga atau empat anak tangga. Lukita, Tulistyantoro, dan Kattu (2016) menganggap bahwa empat anak tangga merupakan perlambangan antara manusia, orangtua, leluhur, dan Tuhan. Simbolisasi itu merupakan pengingat akan akar dan tujuan hidup manusia. Sementara itu, tiga anak tangga menyimbolkan siklus hidup manusia, dari lahir berkembang hingga mati. Widisono (2019), di sisi lain, mengaitkan tiga anak tangga tersebut dengan ajaran Islam Wetu Telu.
Baca juga : Berguru kepada Alam, FIB UI Gelar Dies Natalis ke-84
Di beberapa bale, pemilik sengaja menambahkan dua lagi tangga sebagai perlambang bahwa pemilik rumah telah memeluk Islam secara utuh (Widisono, 2019). Ditelaah dari sini, bale sebenarnya menyimpan jejak dinamika kepercayaan masyarakat Sasak yang dinamis.
Warisan budaya takbenda
Baca juga : Senandung Pergi Haji dalam Masyarakat Kerinci
Kompleksitas fungsi, makna, dan estetika itulah yang membuat rumah Sade terdaftar dalam salah satu warisan budaya takbenda pada 2010, dalam domain kemahiran dan kerajinan tradisional. Bagi masyarakat Sade, rumah bukan sekadar tempat berlindung. Rumah merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial dan spiritual mereka. Setiap aspek dalam rumah Sade dirancang untuk mengingatkan penghuninya terhadap beragam nilai luhur dari masa lalu.
Saat ini, di hari biasa desa adat Sade yang berada di tepi jalan menuju Mandalika, atau yang menjadi salah satu dari sepuluh Bali Baru itu, rata-rata dikunjungi 100 orang. Jumlah pengunjung itu akan meningkat dua kali lipat pada hari libur.
Dengan keunikan dan identitasnya, Sade menawarkan alternatif wisata budaya yang menarik. Tentu, dengan pengelolaan dan kerja sama yang baik dari berbagai pihak, tidak mustahil bagi desa adat Sade untuk menjadi salah satu tulang punggung pariwisata Lombok yang berkelanjutan. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved