Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dalam SDGs Annual Conference 2023, HB XI Bagikan Kearifan Lokal Jogja Jaga Ketahanan Pangan dan Air

Media Indonesia
06/11/2023 13:38
Dalam SDGs Annual Conference 2023, HB XI Bagikan Kearifan Lokal Jogja Jaga Ketahanan Pangan dan Air
Sri Sultan Hamengku Buwono X paparkan kearifan lokal Jogjakarta dalam pengelolaan ketahanan pangan dan air dalam SDGs Conference 2023.(Dok.Bappenas)

SDGs Annual Conference digelar di Jogjakarta dari 5 hingga 7 November mendatang. Pada hari kedua  SDGs Conference yang ingin memastikan  keseimbangan ekosistem air, energi dan jaminan pasokan pangan nasional menuju ketahanan pangan, hadir Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Di depan peserta conference, Sri Sultan HB X menyampaikan nilai kearifan lokal dan praktik baik Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam menjaga ketahanan pangan dan melestarikan air, seiring upaya memberdayakannya.

"Mataram—sebagai cikal bakal Kraton Yogyakarta pada sekitar abad 17, telah mengenal konsep food estate dengan pola pertanian CLS (Crop Livestock System), yang mengintegrasikan cocok tanam dengan ternak. Memerintah pada tahun 1613 – 1645, Sultan Agung telah menyadari, betapa strategisnya peran komoditi beras, bagi kelangsungan peradaban yang dipimpinnya," ungkap Sultan.

Dalam upayanya, Sultan Agung bahkan telah melakukan rekayasa sosial, dalam melaksanakan intensifikasi tanaman padi. Kerjasama antar petani dan antar kelompok tani amat kuat, baik dalam tertib pola tanam, penggunaan air irigasi, pengendalian hama dan penyakit, penggunaan peralatan maupun dalam acara panen.

Saat ini, konsep Lumbung Mataraman telah dikembangkan dengan konsep yang lebih modern, seiring upaya memperkuat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Dimana salah satunya adalah untuk melanjutkan tradisi “nandur opo sing dipangan lan mangan opo sing ditandur”, atau menanam apa yang dimakan, dan memakan apa yang ditanam.

Dari sisi regulasi, Pemda DIY telah menerbitkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2021, tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2011,  tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Perda ini, dalam salah satu pasalnya, telah mengatur pelarangan alih fungsi lahan, terutama lahan produktif. Dalam hal ini, masing-masing kabupaten, wajib memiliki lahan pendukung ketahanan pangan, dengan luasan yang telah ditentukan.

Adapun luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah Tujuh Puluh Dua Ribu Empat Ratus Sembilan Koma Tujuh Puluh Sembilan Hektar (72.409,79 hektar), dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Tiga Puluh Dua Ribu Empat Ratus Sembilan Puluh Lima koma Sembilan Puluh Tujuh Hektar (32.495,97) hektar, di empat kabupaten di DIY.  

"Apabila pemerintah kabupaten, akan menggunakan lahan yang pernah diajukan sebagai lahan pertanian untuk keperluan lain, maka mereka wajib mempersiapkan lahan produktif alternatif, seluas dengan yang mereka mohonkan. Syaratnya, lahan yang diajukan sebagai pengganti, bukan termasuk lahan pertanian dan lahan cadangan pertanian," jelas Sri Sultan.

Pemda DIY, lanjutnya, jga telah melakukan langkah-langkah proaktif dan terarah, dalam upaya mendayagunakan sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan pokok melalui Integrated Water Resources Management. Saat ini, kondisi penggunaan air naik secara eksponensial, sedang pasokan air bersih melambat, akibat kerusakan alam dan polusi. Untuk itu, Pemerintah wajib mengatur penggunaan air secara sustainable, yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Dalam konteks pelestarian air, Pemda DIY telah melakukan melalui langkah-langkah berikut yakni  Munggah, Mundur, Madhêp Kali; Sanitasi Total Berbasis Masyarakat;  Pengelolaan Limbah Domestik Terpadu Skala Pemukiman;  dan  Melestarikan Tradisi Mêrti Kali.

Selain itu,Sri Sultan  juga menyebutkan telah  membuat kelompok-kelompok masyarakat di setiap Kelurahan yang memiliki banyak mata air atau sungai, dengan labelling kelompok pecinta air. "Kami berupaya memfasilitasi mereka, dengan memberikan sepeda motor roda tiga, untuk membawa, mendistribusikan air dan memperbaiki jaringan air yang bocor. Di DIY, terdapat 900-an kelompok pencinta air baik itu Bumdes, maupun kelompok masyarakat.," ungkapnya.

Kesemua upaya pelestarian air itu, bersumber dari filosofi “Hamêmayu-Hayuning Bawânâ”, yang diderivasikan pada “Rahayuning Bawânâ Kapurbâ Waskithaning Manungsâ”. Bahwa keselamatan dunia, hanya didasarkan pada kearifan manusianya.
    
Filosofi tersebut, apabila diintegrasikan dengan vegetasi, akan selaras dengan “Laku Budaya Taruparwâ”, yang diwujudkan dengan kegiatan tanam pohon sebagai simbol kerukunan. Karena selain air, pohon adalah juga sumber kehidupan dan kedamaian, atau “Têpung Banyu Sêdulur, Nandur Wiji Karahayon”. Jika dipadatkan, berakar pada ajaran Jawa “nandur wiji kèli” (menebar bibit dengan menghanyutkannya).

Secara filosofis “nandur wiji kèli” adalah anjuran, agar sadar untuk menyebar bibit di sungai. Dengan tujuan, agar jika biji-biji bisa tumbuh di suatu tempat memberi manfaat bagi orang lain, tanpa melihat siapa pun yang memetik buahnya.

"Itulah makna kemanusiaan dalam memanfaatkan sumber daya air dan tanaman pangan, demi sebesar-besarnya kesejahteraan bersama," tandasnya. (E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya