Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
GURU Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K) memastikan tidak ada kaitan sama sekali air minum dalam kemasan (AMDK) galon isi ulang dengan penyebab autis kepada anak-anak. Menurutnya, hingga saat ini belum ada satu pun penelitian yang mengungkap penyebab pasti terjadi autis.
"Penyebab autis itu masih multifaktor seperti faktor genetik dan lingkungan. Ada juga karena infeksi masa lampau dan itu bisa terjadi. Yang pasti air galon isi ulang tidak menjadi penyebab autis. Itu sudah pasti salah," ujarnya usai memberikan paparan di acara Edukasi Sekolah Inklusi Peduli Autism Spectrum Disorder (ASD) di Sekolah Nasional Plus Tunas Global Depok baru-baru ini.
Menurutnya, AMDK galon isi ulang justru sangat baik untuk kesehatan karena mengandung mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. "Kalau dikatakan bisa menyebabkan autis, seharusnya sudah banyak anak-anak di Indonesia yang menderita autis karena yang minum air galon kan banyak. Nyatanya, yang autis bisa dihitung jari," tukasnya.
Baca juga: UU Kesehatan Berikan Proteksi Hukum bagi Dokter dan Tenaga Medis
Dulu, kata Prof. Rini, ada penelitian yang mendukung pengaruh zat tembaga logam terhadap penyebab autis. Namun, lanjutnya, tidak konklusif juga bahwa penyebab autis karena logam ini. "Akhirnya, penelitian ke arah situ juga makin jarang dilakukan," ujarnya.
Karena itu, menurutnya, pencarian penyebab autis tidak lagi menjadi perhatian saat ini. "Biasanya kepada anak autis, kita enggak mencari pasti penyebabnya. Pemeriksaan darah, CT Scan, biasanya tidak kita lakukan. Kita langsung masuk ke intervensi untuk penanganannya," tuturnya.
Baca juga: Keterampilan Berpikir Kritis Penting untuk Generasi Muda
Untuk penanganan anak-anak autis dilakukan tergantung gejalanya. Menurut Prof. Rini, karena autis merupakan gangguan perilaku, penanganannya juga harus dengan memperbaiki perilakunya. Terapinya dilakukan dengan berbagai cara. Ada terapi sensor integrasi, okupasi, terapi wicara, dan terapi perilaku. "Jadi, ada multifaktor untuk terapinya," paparnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa yang bisa terjadi pada anak autis ialah suka mengalami alergi makanan. Misalnya alergi susu sapi dan alergi makanan laut. "Namun, itu juga tidak semua anak alergi dikatakan menderita autis," ucapnya.
Dia mengatakan autis bisa dibagi menjadi autis ringan, sedang, dan berat. Untuk mendeteksinya, biasanya ditentukan menggunakan perangkat skrining berupa kuesioner yang bernama M-CHAT-R. Anak dengan gejala, kontak matanya sebentar itu biasanya masuk autis ringan. Jika gejalanya tidak ada kontak mata tetapi anaknya tidak cuek, itu masuk autis sedang. "Namun, yang sama sekali cuek dan enggak ada kontak mata biasanya kita masukkan kategori autis berat," tuturnya.
Ditemui di tempat yang sama, Angel, ibu yang memiliki anak autis bernama Yujin, bercerita awalnya putranya terlihat biasa-biasa saja. Perkembangannya sesuai dengan buku panduan dokter. Saat berusia 1,5 tahun anaknya memiliki keanehan yakni saat bermain mobil-mobilan sering rodanya dibalikkan jadi ke atas dan suka memutar-mutar rodanya. Fungsi mainan itu tidak dijalankan dengan semestinya. "Saya berpikir saat itu bahwa itu hal yang wajar saja," katanya.
Lalu, saat berusia 1 tahun 8 bulan, Angel menitipkan anaknya ke penitipan anak dengan tujuan dapat bersosialisasi. Namun, oleh pihak penitipan, dia disarankan untuk membawa anaknya ke klinik tumbuh kembang anak. Pada usia 1 tahun 10 bulan, dia membawa anaknya ke sana. Setelah konsultasi dengan psikolog, dikatakan bahwa anaknya membutuhkan terapi Sensory Integration (SI) dan bukan terapi wicara. Alasannya, terapi wicara akan mengikuti.
Setelah mengikuti terapi SI, menurut Angel, anaknya yang saat itu sudah berusia 3 tahun sudah mulai bicara tetapi tidak bermakna. Baru kemudian, dia disarankan agar anaknya melakukan terapi wicara. "Setelah menjalani berbagai proses, saya kemudian disarankan membawa anak saya ke psikiater. Barulah anak saya itu terdeteksi menderita autis. Saat itu putra saya sudah berusia 4 tahun," ungkapnya.
Ditanya penyebabnya, Angel mengatakan bahwa waktu itu dokter menyampaikan sesuatu yang general saja. Di antaranya bisa faktor genetik, tingkat stres ibu pada saat mengandung, atau virus tertentu yang ada pada ibu pada saat hamil. "Namun, terlepas dari semua, dokternya bertanya sampai kapan saya fokus kepada penyebabnya. Lebih baik fokus penanganannya atau intervensinya. Kalau menemukan masalah bahkan sampai dengan detik ini pun tidak ada 100 persen penelitian yang membuktikan penyebab autis," kata Angel menyampaikan yang disampaikan dokter kepadanya.
"Jadi, saya disarankan fokus pada penanganannya saja dan bukan penyebabnya. Sampai sekarang, anak saya masih terapi SI, terapi wicara, behavior, dan perilaku sesuai dengan pertumbuhan usia anak saya. Dia harus tahu yang benar dan yang salah, yang baik dan yang tidak," ujar Angel. (RO/Z-2)
Menurut Dokter Tirta, kemunculan isu BPA di Indonesia sangat aneh karena baru muncul beberapa tahun belakangan dengan informasi yang kurang akurat.
Tidak ada hubungan kanker dengan meminum air dari galon polikarbonat. Yang pasti 90%-95% kanker itu dari lingkungan.
Penelitian tidak mendapati adanya migrasi BPA dari kemasan galon guna ulang tersebut ke dalam air minum baik yang terpapar ataupun tidak terpapar sinar matahari.
Prof. Juliati memaparkan bahwa sampel dikumpulkan dari empat merek air minum dalam kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) yang umum dan populer ditemukan di Medan.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhun menindaklanjuti peristiwa kecelakaan beruntun yang melibatkan satu truk bermuatan galon berplat nomor B 9235 PYW dan lima kendaraan di Gerbang Tol Ciawi
BSN menyatakan bahwa konsumsi air dari galon polikarbonat atau guna ulang dapat dipastikan keamanannya dari bisphenol A (BPA) karena sudah mendapatkan sertifikasi SNI.
PELUANG kerja bagi penyandang autisme di Indonesia masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya orangtua mengalami kebingungan mencari pekerjaan untuk anaknya yang autisme.
POLA asuh atau gaya parenting orangtua kerap dituduh menjadi penyebab seorang anak mengalami kondisi autisme. Khususnya di era kemajuan teknologi saat ini.
Hingga saat ini penyebab kondisi autisme masih belum diketahui secara konklusif. Namun, faktor genetik disebut menjadi hal yang berperan besar meningkatkan risiko autisme.
GANGGUAN spektrum autis atau autisme adalah sebuah kondisi perkembangan perilaku anak yang memengaruhi kemampuan interaksi, komunikasi, dan sosialisasi anak.
Semakin dini autisme dideteksi, intervensi yang dilakukan dapat semakin maksimal sehingga mampu menekan gangguan dalam perkembangan anak.
Pada autisme, selain defisit komunikasi verbal dan nonverbal, anak juga mengalami kesulitan memproses informasi, bahasa dan instruksi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved