Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
BARU-baru ini, ramai diperbincangkan terkait kasus inses atau hubungan seksual sedarah yang dilakukan oleh orangtua kepada anak di berbagai daerah Indonesia seperti di Ciamis, Bukittinggi, dan Purwokerto. Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis, perilaku inses merupakan perbuatan yang tabu dan tidak diatur secara detail dalam regulasi seperti halnya pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya..
“Kasus inses memang merupakan perbuatan tabu bagi manusia dari berbagai latar belakang budaya, dan terutama agama. Artinya peraturan perundang mungkin tidak secara khusus mengatur tentang masalah inses ini karena memang sudah menjadi ranah norma agama dan norma sosial secara umum,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Sabtu (1/7).
Lebih lanjut, Rissalwan menambahkan bahwa aturan dalam Undang-Undang hanya mengatur perilaku manusia, sementara inses merupakan perilaku hewan. Dia menegaskan inses yang dilakukan oleh manusia dapat terjadi karena masih terdapat insting hewan dalam diri manusia.
Baca juga: Ayah di Ciamis Cabuli Anak Kandung hingga Melahirkan
“Nah mengapa manusia masih ada yang melakukan penyimpangan ini? Ya karena masih ada insting hewani yang ada dalam diri manusia yang dinamakan Freud sebagai ‘’id’. Namun manusia sebagai ‘ego’ harusnya bisa lebih dikendalikan oleh superego-nya berupa nilai-nilai agama, sosial-budaya dan juga norma hukum,” kata Rissalwan.
Aturan Hukum Inses
Dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, menegaskan bahwa pihaknya tidak menoleransi kekerasan termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Dalam hal inses, regulasi yang dapat diterapkan di antaranya adalah UU NO. 35 Tahun 2014 terkait Perlindungan Anak.
“Jika korban inses adalah anak, dapat masuk kategori persetubuhan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76D UU 35/2014 maka dapat ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan dapat ditambah 1/3 jika pelakunya adalah orangtua. Juga dapat terancam pidana tambahan dan pemberian tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Tahun 2016. Aturan khusus ini juga memungkinkan pelaku persetubuhan terhadap anak dapat dikenakan hukuman mati, seumur hidup dan dapat dikenai tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” ujar Nahar.
Baca juga: Polisi Amankan Ayah Pemerkosa Anak Tiri di Jakut
Selain itu, persetubuhan terhadap anak kandung juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Tindak pidana ini juga dapat dikaitkan dengan Pasal 8 jo Pasal 46 dan Pasal 47 UU 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Jika korbannya meninggal, maka dapat dikaitkan pula dengan beberapa pasal dalam KUHP terkait pembunuhan dan pembunuhan berencana,” lanjutnya.
Nahar menekankan bahwa beberapa upaya perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual termasuk inses dapat meliputi edukasi, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan, dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di pengadilan.
“Upaya ini dapat diberikan kepada keluarga melalui edukasi kesehatan reproduksi, nilai agama dan nilai kesusilaan. Ini penting untuk menangkal kepercayaan tertentu dan membenarkan kekerasan termasuk kekerasan seksual terhadap anak,” tandas Nahar.
(Z-9)
Kassus konfirmasi cacar monyet dilaporkan bertambah menjadi 7 kasus sejak pertama kali dilaporkan pada 13 Oktober 2023, atau 8 kasus sejak pertama kali terkonfirmasi di pertengahan 2022.
UPAYA yang terukur untuk mewujudkan gerakan mengatasi kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak harus segera direalisasikan.
KORBAN kekerasan dan kekerasan seksual hingga saat ini masih belum memperoleh jaminan pasti dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kasus ini bermula dari laporan seorang perempuan berusia 24 tahun yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual oleh Achraf Hakimi di kediaman pribadi sang pemain di Paris.
Pendanaan pemulihan melalui peraturan ini hanya dapat diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, tetapi tidak ada batasan waktu yang tegas.
Dengan PP 29/2025 maka pengobatan korban kekerasan dan kekerasan seksual yang tidak tercover oleh program jaminan kesehatan nasional (JKN), bisa mendapatkan dana bantuan.
Iffa Rosita menegaskan pentingnya implementasi pedoman ini sebagai bentuk komitmen kelembagaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved