Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Sastrawan Nilai Parpol Bertanggung Jawab Tingkatkan Literasi Masyarakat

Henri Siagian
20/6/2023 12:03
Sastrawan Nilai Parpol Bertanggung Jawab Tingkatkan Literasi Masyarakat
Seorang pemuda membawa Garuda Pancasila di depan layar yang menampilkan Proklamator Soekarno, beberapa waktu lalu.(Antara)

Partai politik (parpol) bertanggung jawab untuk meningkatkan minat baca dan literasi masyarakat, terkhusus anggota mereka.

Penulis dan sastrawan Muhidin M Dahlan, bila mencontoh pada jalan kehidupan Presiden pertama RI Soekarno dan founding father, bangsa Indonesia semestinya tidak mungkin memiliki tingkat literasi rendah.

Baca juga: Parpol Paling Bertanggung Jawab Terhadap Politik Uang

“Mestinya kita didgaya soal literasi. Karena jika mengikuti jalan Soekarno, partai itu bertanggung jawab terhadap minat baca anggota dan keluarganya. Setiap partai punya koran, punya penerbitan buku. Merekalah yang memasok bacaan kepada keluarga, ke seluruh konstituen di Indonesia,” kata dia, Senin (19/6/2023).

Baca juga: Yudi Latif Ingatkan Pentingnya Pembangunan Karakter Bangsa

Dia menuturkan, Soekarno mulai menulis sejak duduk di bangku HBS atau setara SMP dari tempat indekosnya di Surabaya. Kebiasaan menulis itu berlanjut, hingga salah satu tulisannya yang terkenal yakni esai berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme terbitan Suluh Indonesia Muda pada 1926 atau kala Soekarno berusia 25 tahun.

“Jurnal Suluh Indonesia Muda merupakan gabungan dari studi klub tiga kota besar: Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di situlah Soekarno menulis esai yang saya sebut sebagai esai yang berkaki, esai yang punya infrastruktur,” ungkap Muhidin  dalam siniar Bung Karno Series yang tayang di akun Youtube BKN PDI Perjuangan.

Baca juga: Dari Soekarno hingga Jokowi, Ini Biodata Lengkap Presiden Indonesia dan Wakilnya

Di situ, kata Muhidin, Bung Karno sadar bagaimana menggunakan teknologi sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasannya.

"Yang tercanggih saat itu adalah melalui media cetak. Radio dan televisi kan belum ada saat itu. Sebagai ‘raja konten’, Soekarno tahu platform surat kabar harus digunakan secara maksimal sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasan menjangkau orang banyak," kata Muhidin

Dia mengatakan, banyak gagasan yang dituangkan Bung Karno dalam tulisan. Dan mendorongnya membuat koran yang diberi nama Persatuan Indonesia pada 1927. Nama media tersebut sama persis dengan sila ketiga Pancasila.

Koran itu, sambung Muhidin, kemudian menjadi koran resmi Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat itu, semua aktivis pergerakan punya koran sebagai alat perjuangan dan kendaraan ideologis.

Muhidin melanjutkan, koran ini tak bertahan lama, lalu bubar karena Bung Karno dipenjara. Namun hal ini tak menyurutkan semangat perlawanannya.

Setelah keluar dari penjara, ia kembali membuat koran yang diberi nama Fikiran Ra'jat pada 15 Juli 1932. Di koran itu, Bung Karno sempat menjadi pimpinan redaksi. Akan tetapi, karena tulisan yang begitu keras, Soekarno kembali diasingkan.

Tradisi menulis

Namun, kata Muhidin, tradisi menulis itu begitu melekat pada Bung Karno. Walaupun ia diasingkan tak menyurutkan semangatnya untuk menulis. Di tempat pengasingan lahir sebuah tulisan Indonesia Menggugat.

“Contoh yang paling dramatis yaitu pidato fenomenalnya yang lahir dari sel berukuran 2 x 3 meter di LP Banceuy, Bandung. Bung Karno menulis di atas toilet, menutup lubang kakus dengan kaleng makanan, dan jadilah Indonesia Menggugat',” tutur Muhidin.

Baca juga: Lima Lokasi Melawat Pemikiran Kebangsaan Bung Karno di Bandung

Muhidin menegaskan penggunaan media sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasan tetap digunakan saat Bung Karno menjadi Presiden.

Platform televisi, kata dia, hadir kali pertama era kepemimpinan Bung Karno yakni saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962.

Baca juga: 1962:TVRI Mulai Mengudara

“Ketika ia jadi presiden, kita harus punya televisi agar bisa promosi kepada dunia tentang kecanggihan Indonesia. Dan ini terjadi di era Soekarno. Ia tahu karena ia orang pers. Dia gunakan kekuasaan dengan menghadirkan teknologi media secara masif sebagai kendaraan gagasan dan penyambung lidahnya,” terangnya.

Dia mengisahkan pemimpin harian Bentara yang menghadap Bung Karno. Dan Bung Karno kemudian mengubah namanya menjadi Kompas,” ceritanya.

Baca juga: Tak Mati-Mati Dibunuh Berkali-kali

Setelah era Soekarno, wajah media berubah. Dulu panglima koran adalah politik, kini bergeser jadi ekonomi dalam industri yang begitu komersial. “Sejarah pergerakan itu dibangun dengan titian media, khususnya koran. Semua anggota pergerakan adalah pemimpin redaksi surat kabar. Demikian pula dunia kebudayaan, menjadi menggelegar di era Soekarno lewat media, seperti lomba cipta lagu RRI, dan lain-lain,” katanya. (X-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian
Berita Lainnya