BADAN Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa tahun 2023 ini kondisi musim kemarau di Indonesia akan lebih kering, serupa dengan 2019 lalu. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan, hal itu disebabkan karena semakin menguatnya intensitas El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD).
"Untuk kali ini, dua fenomena itu terjadi bersamaan sebagaimana tahun 2019, El Nino dan IOD positif. El Nino dikontrol oleh suhu muka air laut di Samudra Pasifik dan IOD positif dikontrol oleh suhu muka air laut di Samudera Hindia yang keduanya mengakibatkan wilayah Indonesia jadi lebih kering," kata Dwikorita dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (6/6).
Ia menyatakan, pada bulan Juni 2023 ini, terdapat perubahan fenomena suhu muka air laut di Samudra Pasifik, yakni suhunya semakin meningkat mencapai angka 0,8 derajat celcius. Hal itu merupakan tanda penguatan El Nino.
Baca juga: Sembilan Kecamatan di Kabupaten Malang Rawan Kekeringan
"Kalau di bawah angka 1 itu El Nino-nya masih masih lemah. Namun ada tren memasuki moderat, artinya intensitas menguat dengan peluang lebih dari 80%," ucap dia.
selain itu, gangguan iklim di Samudera Hindia juga mengakibatkan suhu muka air laut meningkat dan menyebabkan munculnya IOD.
Baca juga: Kementan Siapkan Strategi untuk Jaga Produksi Pangan dan Pertanian dari Ancaman Kemarau dan El Nino
Fenomena itu, kata Dwikorita, akan menyebabkan semakin berkurangnya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia selama periode musim kemarau. Sebagian Indonesia akan mengalami curah hujan di bawah normal atau lebih kering dari kondisi normalnya.
"Pada Juli, Agustus, September 2023 nanti, curah hujan akan sangat rendah, kurang dari 30%. Kalau normalnya curah hujan itu 85% sampai 115%," ucap dia.
Dwikorita mengungkapkan, curah hujan pada Agustus, September Oktober diprediksi akan berada pada kategoro di bawah normal.
Beberapa wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan rendah pada Juni 2023 di antaranya ialah Aceh, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Papua Selatan.
Sementara itu, pada Juli curah hujan kurag dari 100 mm berpeluang terjadi di sebagian Aceh, Sumatra Utara, sebagian Sumatra Barat, sebagian Riau, Jambi, Sumatra Selatan, sebagian Bengkulu, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Papua Selatan.
Lalu pada Agustus sampai Oktober curah hujan kurang dari 100 mm perbulan akan berpeluang terjadi di sebagian Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkuku, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Jawa, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, sebagian Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.
Selanjutnya pada November curah hujan kurang dari 100 mm perbulan berpeluang besar terjadi di sebagian Lampung, Banten bagian utara, DKI Jakarta, Jawa Barat bagian utara, Jawa Timur bagian utara, sebagian NTB, Sebagian NTT, sebagian Kalimantan Tenggara, sebagian Kalimantan Tengah, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan sebagian Papua.
Untuk menghadapi kondisi tersebut, BMKG mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Pertama, melakukan langkah antisipatif pada daerah-daerah yang berpotensi mengalami curah hujan dengan kategori rendah yang dapat memicu kekeringan dan dampak lanjutannya.
"Selain itu meningkatkan optimalisais fungsi infrastruktur sumber daya air untuk memastikn kendala operasional waduk, embung, kolam retensi dan penyimpanan air buatan lainnya untuk pengelolaan curah hujan dan penggunaannya saat musim kemarau," ucap Dwikorita.
Selain itu ia mengimbau agar melakukan langkah persiapan terhadap potensi adanya kebakaran hutan dan lahan berkaitan dengan curah hujan kategori rendah pada musim kemarau 2023. (Z-10)