BARU-BARU ini, ramai kasus kekerasan yang dilakukan remaja dan anak. Psikolog Elizabeth T Santosa mengatakan kejadian-kejadian tersebut diakibatkan perkembangan adolescene yang tengah dialami remaja. Dalam periode itu, remaja sangat dipengaruhi oleh perilaku agresif dan berisiko.
"Dilihat dari aktivitas kerja otak, ditemukan bahwa remaja cenderung mudah mengambil risiko dan suka bereksperimen dibandingkan usia dewasa. Selain itu, remaja memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap tekanan sosial. Penggabungan kedua hal tersebut antara tekanan pengaruh sosial dan ambil risiko dapat berakibat tindakan yang negatif ataupun positif," ungkap Elizabeth kepada Media Indonesia, Senin (13/3).
"Misalnya, sedih melihat area perkampungan ekonomi miskin dan melarat membuat sekelompok remaja melakukan bakti sosial untuk membantu penghuni pemukiman. Atau bisa merasa sedih dan sakit hati karena teman perempuannya di-bully, sang pacar lalu melampiaskan kemarahan secara membabi buta untuk balas dendam," sambungnya.
Baca juga: Pastikan Kecukupan Gizi Melalui 68 Bagi Kesehatan Remaja
Agar tidak mengarah ke tindakan negatif, dia menegaskan remaja memerlukan bimbingan dan arahan bijak dari orangtua, guru, dan teman-teman di sekitarnya.
Menurut Elizabeth, bergaul dengan teman yang salah, besar kemungkinan remaja akan ikut-ikut melakukan perilaku negatif. Orangtua yang cuek dan tidak peduli pun akan kena getahnya saat remaja mengambil tindakan tanpa pikir panjang.
"Remaja hanya perlu disupervisi, tidak perlu dimicro-manage. Berikan kebebasan secukupnya namun selalu waspada jika ada perilaku-perilaku yang terlihat tidak baik," tuturnya.
Baca juga: Tinggi Angka Kematian Ibu karena Anemia dan Hamil Usia Remaja
Elizabeth menambahkan, jika remaja memperlihatkan perilaku agresi di rumah, orangtua sebaiknya tidak tinggal diam namun melakukan intervensi seperti teguran ataupun menegakkan kedisiplinan dan aturan main baik di dalam rumah atau di luar rumah.
Selain itu, umumnya karakter anak dibangun dan dipupuk dari mencontoh perilaku orangtua. Orangtua yang karakternya agresif umumnya menghasilkan anak yang berkarakter agresif pula.
Lalu, orangtua yang terlalu sibuk juga rentan melakukan penelantaran terhadap anak sehingga pendidikan moral, agama, kesantunan dalam bertingkah laku tidak ditanamkan sejak kecil. Orangtua karakter ini melemparkan tanggungjawab pendidikan moral kepada guru sekolah atau pengasuh di rumah.
"Orangtua permisif cenderung memanjakan anak sehingga ketika anak berperilaku agresif, orangtua tidak mampu mendisiplinkan dan memilih menyerah sehingga perilaku tidak baik tetap berkelanjutan," tandas Elizabeth. (Z-1)