Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
BANYAK pihak menyebut internet bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, manfaatnya memang luar biasa. Tapi di sisi lain, internet juga membawa risiko bahaya.
Terlebih bagi anak-anak dan remaja yang kondisi psikologisnya masih belum matang. Salah satu risiko yang mereka hadapi ialah perundungan online (cyberbullying).
Terkait perundungan tersebut, belum lama ini lembaga pembangunan global yang berfokus pada anak, ChildFund International, merilis hasil kajian berjudul Memahami Perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia.
Salah satu hasil kajian itu mengungkapkan bahwa 6 dari 10 remaja di Indonesia mengalami cyberbullying.
“Meningkatnya penggunaan internet dan berbagai adaptasi kegiatan remaja dari luring ke daring turut meningkatkan kerentanan anak dan kaum muda terhadap perundungan online,” ujar Hanneke Oudkerk, Country Director ChildFund International di Indonesia, pada sesi diskusi bersama sejumlah media di Jakarta, baru-baru ini.
Baca juga: Lingkungan Pendidikan Belum Bisa Diandalkan Cegah Kasus Perundungan
Dalam kajian yang pelaksanaannya mendapat dukungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (PPPA) itu, ChildFund berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perundungan online.
Pertama, paparan perundungan tradisional (luring). “Ada kemungkinan pelaku perundungan tradisional melakukan perundungan secara online/daring dan di sisi lain, korban perundungan tradisional cenderung menjadi pelaku perundungan online,” kata Hanneke yang sudah malang melintang sebagai aktivis di bidang kemanusiaan dan anak di sejumlah negara ini.
Kedua, pengawasan orang tua. Keaktifan orang tua dalam mengawasi kegiatan anak di dunia maya turut berkontribusi pada keterlibatan anak dalam melakukan perundungan online. Semakin minim pengawasan orang tua maka semakin tinggi peluang anak melakukan perundungan online.
Ketiga, norma kelompok dan kepemilikan kelas berimbas pada perundungan online. Responden melihat keterlibatan teman mereka melakukan perundungan online sebagai norma dalam berinteraksi secara daring sehingga mendorong mereka untuk melakukan hal serupa.
Keempat, paparan konten berbahaya di internet. Terpaan konten negatif/berbahaya akan berdampak positif pada perilaku perundungan online karena memengaruhi persepsi kekerasan bagi remaja. Selain itu, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia dan menjadi penggemar K-POP turut berkontribusi terhadap online.
Sinergi Semua Pihak
Hanneke menegaskan, perlindungan anak dari berbagai risiko kekerasan berbasis online jelas memerlukan intervensi yang menyeluruh.
Mulai dari penguatan resiliensi anak itu sendiri, pengawasan orangtua dan keluarga, serta lingkungan sekitar anak sampai pada pengaturan informasi layak anak dari berbagai pemangku kepentingan. Upaya ini memerlukan peran dari berbagai pihak sebagai mitra pembangunan pemerintah Indonesia.
“Sinergi berbagai pihak sangatlah dibutuhkan dalam memastikan perlindungan anak dan remaja di dunia maya. Peran orangtua, lingkungan sekitar, pendidik, pemerintah hingga sektor privat menjadi hal yang krusial,” ucapnya.
Sebagai langkah nyata untuk membantu kaum muda menavigasi dunia maya dengan lebih baik, ChildFund mengembangkan dua inisiatif baru di Indonesia yakni, Program Swipe Safe dan Kampanye Web Aman dan Bijaksana Web (Web Safe and Wise).
Program tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas anak, orangtua, pendidik, dan pemangku kepentingan lainnya akan risiko-risiko dari dunia maya dan mengajak semua pihak untuk melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya perundungan online.
Rincian Kajian
Terkait kajian yang dilakukan Childfund, lebih rinci Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi Childfund International di Indonesia Reny Haning menjelaskan bahwa penelitian itu melibatkan 1.610 responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa usia 13 – 24 tahun. Mereka berasal dari empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung dan Nusa Tenggara Timur.
“Kajian yang berlangsung dari Juli sampai Oktober 2022 ini menemukan 5 dari 10 pelajar dan mahasiswa melakukan intimidasi terhadap orang lain secara online. Sementara 6 dari 10 pelajar dan mahasiswa menjadi korban perundungan online dalam tiga bulan terakhir,” papar Reny.
Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku, sementara anak perempuan memiliki peluang lebih tinggi menjadi korban perundungan online.
Siswa SMA lebih cenderung menjadi pelaku dan menjadi korban perundungan online dibanding pelajar SMP dan universitas.
Remaja di bawah lima belas tahun memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi korban (64,5%) dan pelaku (53,5%) dibanding kategori usia lainnya.
Lebih lanjut Reny menyatakan bahwa perundungan online ini bisa meliputi pelanggaran privasi, pengucilan, penguntitan, pencemaran nama baik, pelecehan dan kekerasan seksual dengan ancaman hingga pemerasan.
Tanggapan terhadap perundungan online dilakukan korban dengan mendiskusikan pengalaman mereka dengan teman atau orang lain yang mereka percaya, diikuti dengan pemblokiran akses pelaku ke akun mereka. Keluarga dan teman sebaya.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 77,6% responden akan bereaksi ketika menyaksikan perundungan online dengan memperingatkan pelaku, mencegah pelaku mencuri data orang lain, menghibur korban dan sebanyak 45,35% mendorong korban untuk melaporkan perbuatan pelaku.
ChildFund International sendiri merupakan lembaga pembangunan global yang berfokus pada anak.
Berpusat di Richmond, Virginia, Amerika Serikat, ChildFund merupakan anggota ChildFund Alliance, sebuah jejaring dari 11 lembaga pengembangan internasional berfokus pada anak yang bekerja di lebih dari 70 negara. Di Indonesia, ChildFund secara resmi bekerja sejak tahun 1973. (Nik/OL-09)
Studi menunjukkan semakin banyak waktu yang dihabiskan remaja di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka mengalami perundungan terkait berat badan.
Anak harus memahami dan menghargai diri dan lingkungan serta mengetahui konsekuensi hukum dan akibat dari kekerasan/perundungan.
Anak yang menjadi korban perundungan biasanya menjadi lebih pendiam atau tertutup dan menunjukkan sikap yang berbeda dari kebiasaannya.
Orangtua juga bisa memberikan contoh nyata dari keberanian dalam menolak tindakan yang salah serta memberikan dukungan jika anak menghadapi situasi sulit.
Salah satu tanda yang mungkin bisa lanjut diperhatikan oleh orangtua yakni anak sering menunjukkan perilaku agresif
Anak-anak yang melakukan perundungan kebanyakan hanya ingin menyesuaikan diri, membutuhkan perhatian hingga mencari tahu bagaimana menghadapi emosi yang rumit
Melalui platform online seperti Shopee, brand kecantikan lokal semakin berkembang dan memperluas pasar dengan berbagai fitur dan program yang ditawarkan.
Kehadiran anak-anak sebagai kidsfluencer ini rupanya memicu kekhawatiran akan potensi eksploitasi anak
Perubahan ini tidak hanya mencakup penggunaan kata-kata, tetapi juga pada pola komunikasi secara keseluruhan
Slogan pick me mengarah kepada perilaku atau sikap seseorang yang berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan dengan cara menonjolkan diri sebagai pribadi yang berbeda.
BUDAYAWAN Banten Uday Suhada mengecam eksploitasi perempuan Badui yang kini marak dilakukan oleh para konten kreator ke media sosial (medsos).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved