Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Edukasi Publik Melalui Produk Sinema Tapi Tetap Menghibur

Mediaindonesi.com
12/8/2022 15:53
Edukasi Publik Melalui Produk Sinema Tapi Tetap Menghibur
CEO Bawana Entertainment, Muchamad Nur Wachid.(Ist)

FILM adalah media yang bisa menjadi hiburan sekaligus pendidikan. Konsep film sebagai produk edutainment sebenarnya bukanlah hal yang baru.

Sejak dulu, khususnya di Indonesia, karya sinematik sarat dengan nilai-nilai pendidikan, mulai dari film layar lebar hingga layar kaca.

 Seperti film Nagabonar yang mengajarkan nilai-nilai nasionalisme dari seorang tukang copet, film seri Aku Cinta Indonesia (ACI) di TVRI yang sarat dengan nilai-nilai persahabatan.

Dan tentunya, karya monumental Arifin C Noor, film Pemberontakan G30S PKI yang menjadi tontontan wajib zaman Orde Baru yang mengajarkan bangsa ini tentang bahaya ajaran komunis.

Baca juga: Mobil Edukasi 'Wujudkan Indonesia Bebas Dengue' Hadir di Cirebon

“Di era sekarang, film sebagai sarana pendidikan masih menjadi idealisme para sutradara meskipun porsinya bisa berbeda-beda,” kata CEO Bawana Entertainment, Muchamad Nur Wachid, dalam keterangan pers, Jumat (12/8).

Film Ayat-Ayat Cinta, misalnya, sukses menembus angka 3 juta lebih penonton. Karya Hanung Bramantyo ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy yang juga sama-sama best-seller sebagai fiksi Islami terlaris pada saat itu.

“Namun sayangnya, film yang diangkat dari novel laris lainnya dari penulis yang sama, Ketika Cinta Bertasbih tidaklah sesukses AAC,” katanya.

Padahal film ini benar-benar kental edukasinya dibanding dari sisi mengikuti selera pasar. Mulai dari pesan dakwah yang to the point hingga pemilihan peran utama yang diambil dari orang-orang yang ‘menjaga pergaulan’.

“Di film pertamanya “hanya” menembus 2 juta penonton sedangkan sekuelnya terjadi penurunan, yaitu 1,4 juta penonton,” jelas Nur Wachid.

Pasar vs Idealisme

Tidak bisa dipungkir, menurut Nur Wachid,i bahwa masih banyak sutradara idealis dan punya visi misi edukasi dalam karyanya namun harus berbenturan dengan kepentingan produser yang berorientasi pada bisnis.

 Pasar, atau penonton, tidak selalu suka dengan sesuatu yang bersifat frontal apalagi jika disajikan dengan cara yang serius.

“Kita patut acungin jempol pada sinetron religi Para Pencari Tuhan besutan Deddy Mizwar yang selalu sukses di tiap Ramadhan,” ujar Nur Wachid.

Sarat nilai edukasi, tapi juga bisa diterima oleh masyarakat. Terbukti dari banyaknya iklan-iklan yang dipajang selama sinetron ini diputar.

Apakah pasar tidak suka dengan film yang terlalu idealis? Atau sutradara idealis yang tidak mau berkompromi dengan selera pasar?

“Mari kita lihat film KKN Desa Penari yang sampai tulisan ini dibuat sudah menembus angka 7 juta penonton,” katanya.

Tayangan ini sarat dengan penampakan-penampakan hantu, adegan “17 tahun ke atas”, bahasa umpatan, praktek perdukunan, kemusryikan dan sebagainya.

“Namun film ini ada unsur edukasinya, entah disadari atau tidak oleh sutradaranya, yaitu tentang menghormati budaya tempat kita berpijak. Tentu saja porsinya sangat kecil,” papar Nur Wachid

Setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan bagi seorang sineas dalam membuat karya film edutainment tanpa kehilangan potensi pasar.

Pertama, unsur pendidikan bisa disisipkan dalam komedi. Membuat orang tertawa adalah cara efektif untuk memasukkan “doktrin” secara halus.

Kedua, edukasi bisa melalui jalan cerita itu sendiri. Film animasi Disney Coco adalah salah satu contohnya, bagaimana keinginan anak untuk menjadi musisi harus berhadapan dengan budaya turun menurun keluarganya yang mengutuk profesi musisi.

“Dan bisa ketemu jalan tengahnya diakhir cerita, dengan tetap mengusung ajaran bahwa keluarga adalah segala-galanya” jelasnya.

Ketiga, jika harus mengikut selera pasar, porsi edukasi tetap diusahakan harus di atas 30%.

Misalnya, jika total durasi film adalah 2 jam, maka setidaknya 30 menit di antaranya adalah unsur edukasi yang bisa dijabarkan melalui dialog, scene tertentu, atau sekedar narasi.

Keempat, membuat film indie dengan segmen yang niche adalah solusi yang cukup jitu.

Banyak sineas-sineas muda yang justru sukses membuat film-film independen dengan bujet terbatas tanpa produser namun memenangkan penghargaan di tingkat dunia.

Dan kelima adalah “berdamai dengan selera pasar”. Jika masyarakat memang suka drama percintaan, buatlah film percintaan dengan edukasi pentingnya menghindari free sex.

“Jika masyarakat senang dengan film horor, buatlah film horor yang mengajarkan tentang bahaya pergi ke dukun,” jelasnya.

“Jika masyarakat suka dengan film laga, sajikan tayangan perkelahian yang mengajarkan pentingnya sifat berani membela kebenaran dengan berbekal beladiri,” ungkap Nur Wachid.

“Masyarakat perlu diedukasi, dan film adalah media yang tepat untuk mendidik dengan cara yang menghibur,” tegasnya. (RO/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya