Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Ikhlas di Akhir Ramadan, Petani Sawit Lebaran Seadanya

Dwi Apriani
30/4/2022 09:55
Ikhlas di Akhir Ramadan, Petani Sawit Lebaran Seadanya
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022)(ANTARA/Makna Zaezar)

TAHUN ini menjadi lebaran yang paling menyedihkan bagi para petani sawit yang ada di Kecamatan Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Euforia menjelang Hari Raya Idul Fitri harus dijalani dengan menelan kecewa karena harga jual tandan buah segar yang jatuh bebas.

Apalagi harga kebutuhan pokok semakin tinggi sehingga membuat lebaran tahun ini bagi petani sawit harus dilakukan dengan cara sederhana.

Maryani, 48 tahun, petani sawit yang memiliki dua hektare lahan kebun itu mengungkapkan dibanding tahun-tahun sebelumnya, tahun ini adalah yang paling parah turunnya harga TBS. Bahkan disayangkan turunnya harga TBS ini terjadi sepekan sebelum lebaran.

Baca juga: Jelang Lebaran, Jasa Cuci Perhiasan Ramai Diserbu Warga

Baca juga: Muhammadiyah Sampaikan Pesan Idul Fitri

"Jelas ini sangat berdampak. Biasanya kalau menjelang lebaran, masih bisa beli ini itu karena ada pemasukan dari hasil jual beli TBS," jelasnya saat dihubungi Kamis (28/4).

Ibu dari dua orang anak ini mengaku biasanya dalam sebulan atau satu kali panennya bisa mendapatkan Rp8 juta. Itu hasil pendapatan bersih per satu hektar lahan kebun sawit, saat harga TBS masih Rp3.660 per kilogram.

Namun karena saat ini harga jual TBS menjadi Rp2.100 per kilogram maka Maryani hanya mendapatkan Rp5 juga saja. "Dari Rp5 juta inilah yang kami pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Belum lagi kami harus membayar cicilan dump truk," ucapnya.

Karena itu, Maryani mengungkapkan, dirinya harus mengerem pengeluaran untuk persiapan lebaran tahun ini. Maryani mengungkapkan, apabila kondisinya terus begini maka akan semakin mencekik petani sawit.

Hal itu karena mereka harus membeli pupuk yang harganya cukup tinggi. Belum lagi pengeluaran untuk perawatan dan pembersihan kebun sawit miliknya.

"Kedepan pengeluaran akan lebih besar. Karena itu, kami berharap agar pemerintah cepat memberikan solusi agar harga jual TBS bagi petani bisa kembali normal lagi," jelasnya.

Serupa dengan Maryani, ternyata hal sama juga dialami Satin, 55 tahun, petani sawit di Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin juga ikut menjerit dengan adanya perubahan harga jual TBS yang saat ini terjadi di pabrik. Apalagi menurutnya, pabrik memberikan harga TBS sesuai harga pasar bebas.

"Kami hanya mendapat harga Rp2.000 per kilogramnya, biasanya Rp3.000an. Hasilnya pendapatan kami dari ini pun berkurang drastis," jelas ayah dari enam anak ini.

Satin menjelaskan, dirinya memiliki 6 hektar lahan sawit yang dikelola sendiri. Dan baru membeli 1,5 hektar lahan baru untuk kebun sawit.

"Biasanya bisa memberikan uang lebih untuk warga yang membantu kelola kebun sawit saya, tapi kali ini saya hanya bisa membagikan sedikit. Karena memang hasil pendapatan dari jual TBS ini sangat turun drastis," ucapnya.

Ia cukup sedih lantaran saat ini membutuhkan modal besar untuk perluasan dan penanaman kelapa sawit baru. "Apalagi sekarang butuh modal besar, jadi mau tidak mau sekarang harus tahan diri dalam mengeluarkan uang," jelasnya.

Diceritakan Satin, ia dan para petani sawit di wilayahnya saat ini hanya bisa pasrah dengan kondisi ini. Namun terus berharap agar pemerintah
membantu para petani sawit.

Sebab, kata dia, hal ini sangat berpengaruh besar bagi kesejahteraan petani sawit. "Semoga ada angin segar, solusi dari pemerintah agar harga jual TBS tak lagi seperti ini," terang dia.

Fungsional Analis PSP Madya Dinas Perkebunan Sumatra Selatan Rudi Arpian tidak menampik adanya kebijakan yang diberlakukan pemerintah itu sudah berdampak terhadap pendapatan petani sawit. Rudi pun berharap kebijakan larangan itu tidak berkepanjangan.

"Kita menduga kebijakan ini upaya pemerintah untuk memberikan sanksi atas kenakalan pabrik kelapa sawit yang tidak memenuhi kewajiban DMO yang membuat carut marut harga minyak goreng di dalam negeri," ujarnya.

Menurutnya, langkah yang lebih tepat adalah kembalikan kebijakan DMO sebesar 20% yang dibarengi dengan DPO pada harga Rp.9.300/kg. Tentu dengan melibatkan kementerian terkait, termasuk kejaksaan dan kepolisian harus mengawal kebijakan ini dengan massif.

"Dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan. Sehingga semua pihak akan tersenyum, tersenyum bersama petani sawit untuk Indonesia yang lebih baik dan Sumsel maju untuk semua," tandasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya