Krisis Identitas pada Penyintas Kanker Anak Harus Dihadapi dan Diatasi

Eni Kartinah
27/10/2021 15:56
Krisis Identitas pada Penyintas Kanker Anak Harus Dihadapi dan Diatasi
Anak-anak penderita kanker melakukan kegiatan di di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Mohammad Hoesin Palembang, Sumsel.(MI/Dwi Apriani)

PENYINTAS kanker anak yang sudah menjalani pengobatan selama 2-5 tahunm dan berusia antara 10-24 tahun. Penyintas kanker anak kerap mengalami krisis identitas saat memasuki masa remaja. 

"Penelitian menunjukkan bahwa penyakit kronis dapat memengaruhi pembentukan identitas secara negatif. Orangtua harus aware jika anaknya yang seorang penyintas kanker mengalami krisis identitas," kata psikolog Nelly Hursepuny dari RS Kanker Dharmais pada keterangan kepada pers, Rabu (27/10). 

"Meski tidak diungkapkan, krisis identitas pada penyintas kanker ditandai dengan banyaknya pertanyaan dalam dirinya. Misalnya, selalu bertanya 'siapa saya?'" jelas Nelly.

Mereka bingung bagaimana menghadapi selanjutnya setelah menjadi penyintas. Dengan perubahan fisik setelah pengobatan, pasti ada pikiran.

"'Apakah saya masih bisa bermanfaat?”, “Apakah saya bisa memiliki banyak teman?” dan lain-lain. Intinya, selalu ada konflik batin dan mempertanyakan arti dan tujuan hidup," tutur Nelly. 

Pengobatan kanker membutuhkan waktu lama yang akan membawa dampak nyata secara fisik. Beberapa perubahan fisik sebagai dampak terapi jangka panjang baik itu pembedahan, kemoterapi, dan radiasi di antaranya moonface atau wajah bulat karena terlalu banyak obat dari golongan steroid.

"Kadang, penyintas kanker juga kehilangan anggota tubuh karena amputasi yang menyebabkan keacacatan seumur hidup," ucap Nelly.

“Hambatan fisik ini membuat remaja penyintas kanker merasa ragu, saat kembali ke sekolah apakah ada yang mau menjadi teman saya. Apalagi saya tidak menarik lagi, tubuh dan wajah semua berubah," katanya.

"Akhirnya ada konflik batin karena malu, lebih banyak di rumah, dan tidak banyak melakukan kegiatan dan anak atau remaja akan bingung akan melakukan apa, dan tujuan hidupnya,” jelas Nelly. 

Kenapa krisis identitas bisa terjadi? Menurut Nelly, secara umum, kondisi berikut ini menjadi penyebab krisis identitas pada penyintas kanker. Pertama, ada paradoks identitas saat transisi menjadi seorang “penyitas”.

Kedua,perasaan terisolasi merasa ditinggalkan dari kehidupan normal karena lama di rumah sakit dan lama menjalani pengobatan. 

Ketiga, keterampilan interpersonal kurang berkembang. Keempat, efek samping pengobatan yang mengubah penampilan. Kelima, hilang percaya diri dan merasa cemas kembali ke sekolah, dan kelima, ketakutan persisten akan kekambuhan.

Menurut Nelly, usia saat terdiagnosis kanker tidak memengaruhi terjadinya krisis identitas. Lingkungan dan orangtua lebih berperan menghadirkan pola pikir anak penyintas kanker. 

“Orangtua penyintas perlu tahu saat remaja mengalami krisis identitas, dan mampu melepaskan semua beban yang tertahan di pikiran dan perasaan saat berlalih menjadi seorang penyintas,” jelas Nelly.

Orangtua bisa mengembalikan krisis percaya diri remaja penyintas dengan memasukkannya  ke komunitas penyintas untuk membantunya melihat persepktif lain dan belajar dari pengalaman sesama penyinas.

"Selain itu membantu remaja menemukan hal yang disukainya, tidak memaksakan keinginan orangtua dengan membiasakan mengambil keputusan bersama," paparnya.

Komunikasi dua arah, lanjut Nelly, sangat penting. Dengan dukungan penuh dari orangtua, penyintas kanker tidak harus mengalami krisis identitas. (Nik/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya