Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
AJAKAN untuk tidak melapor ke polisi terhadap kasus-kasus kejahatan yang menimpa masyarakat betapa pun dilatari kekecewaan mendalam, tidak sepatutnya diteruskan. Pelaporan ke polisi tetap perlu dilakukan agar pada periode tertentu kinerja polisi dapat ditakar berbasis data.
Demikian dikemukakan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi adanya ajakan yang viral di media sosial belakangan ini. Ajakan ini mencuat karena aduan ke pihak kepolisian terhadap kasus kejahatan sesksual terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, oleh ayah kandungnya sendiri dinilai diabaikan dan mendapatkan penanganan yang merugikan pihak korban, oleh pihak kepolisian. "Juga karena ajakan tersebut bisa direspons secara salah sebagai ajakan untuk aksi vigilantisme (main hakim sendiri). Dan ini berbahaya," lanjut Reza.
Menurut Reza, di samping masalah penanganan dugaan kejahatan seksual terhadap anak, Polri perlu diberi masukan agar menyusun laporan kinerjanya secara lebih komprehensif. Tidak sebatas jumlah laporan, tapi mencakup pula berapa yang diproses sampai ke pengadilan, apa dan berapa yang ditangani dengan diversi, tren tuntutan jaksa, tren vonis hakim, ragam penghukuman pemasyarakatan dan residivisme.
"Laporan selengkap itu mengharuskan seluruh lembaga penegakan hukum tidak hanya Polri untuk duduk bareng dan menyajikan laporan tunggal," kata Reza. Laporan seperti itu, bisa diberikan subyek sebagai 'Laporan penegakan hukum periode tertentu.' Dari laporan terintegrasi itulah masyarakat bisa mengukur sudah sejauh apa sesungguhnya kerja otoritas penegakan hukum di Indonesia.
Reza Indragiri juga mengingatkan kegagalan dalam investigasi kasus kejahatan seksual disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, karena jarak waktu yang jauh antara peristiwa dan pelaporan ke polisi. "Rentang waktu yang panjang itu membuat, antara lain, pelaku kabur, bukti lenyap, saksi lupa, korban trauma berkepanjangan. Akibatnya, kerja penyelidikan dan penyidikan terkendala serius," kata Reza dalam keterangan resmi, Sabtu (9/10).
Selain itu, imbuh Reza, kejahatan seksual memang mengandung kompleksitas tinggi. Ia menyebut, di Amerika Serikat saja, jumlah kasus yang bisa ditangani hingga tuntas ternyata turun dari 60% pada tahun 1964 ke 30% pada 2017.
Walau demikian, menurut Reza, SP3 bukan berarti penghentian penanganan selama-lamanya. Pada alinea terakhir SP3 biasanya ada kalimat bahwa penanganan bisa diaktifkan kembali sewaktu-waktu diketemukan bukti dan saksi yang memadai. "Jadi, saya tetap menyemangati korban dan keluarga jika peristiwa dimaksud benar-benar terjadi untuk terus berikhtiar dan berdoa," kata dia. (H-1)
Keluar dari zona nyaman bukan hal yang mudah, tapi penting meningkatkan kualitas hidup seseorang. Simak tips untuk keluar dari zona nyaman.
Perfeksionisme pada remaja perempuan sering kali mengakibatkan stres, tekanan berlebihan, dan keterbatasan dalam kreativitas.
Mengubah fokus dari hasil ke proses, memberikan dorongan positif, dan menetapkan tujuan realistis adalah kunci membantu anak perempuan mengelola perfeksionisme.
Proyek penelitian yang dipimpin University College London (UCL) mengeksplorasi efektivitas resep sosial dalam mengurangi kesepian dan meningkatkan kesejahteraan di anak-anak 9-13 tahun.
Tanamkan hal positif tentang sekolah, misalnya banyak teman untuk bermain, hindari memberikan tuntutan berlebihan pada anak.
Ibu yang mengalami baby blues diminta berusaha mengungkapkan emosi yang dirasakan kepada pasangan maupun orang-orang terdekat agar bisa segera mengatasi masalah tersebut.
Anak akan merasa tidak berharga jika kerap dibentak oleh orangtua
Berikan pendidikan seks sesuai dengan usianya untuk bisa menetapkan batasan pada orang lain.
Selain itu, anak-anak juga perlu dilatih untuk berani bersuara terhadap berbagai hal negatif yang dialaminya, misalnya dari tindak kekerasan.
Polres Tasikmalaya menetapkan status tersangka pada pasangan SM, 50, dan BK, 61, dalam kasus pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri yang berkebutuhan khusus berusia 10 tahun.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di antaranya meliputi persetubuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maupun perzinaan.
Selama 2023, jumlah kekerasan terhadap anak terdata sekitar 62 kasus. Angkanya tergolong tinggi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved