Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Wisata Alam Virtual, Sebuah Alternatif di Tengah Pandemi

Zubaedah Hanum
17/4/2021 16:35
Wisata Alam Virtual, Sebuah Alternatif di Tengah Pandemi
Pemandangan air terjun Telunjuk Raung di Songgon, Banyuwangi, Jawa Timur.(Antara)

KETUA Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, kemunduran ekonomi selama pandemi covid-19 ikut memukul sektor wisata alam. Dalam merespons hal itu, kata Sarwono, wisata alam virtual menjadi solusinya.

“Melalui wisata virtual kita dapat menyaksikan keindahan alam, keanekaragaman hayati, sehingga bisa membangkitkan afinitas merasa dekat dengan alam yang merupakan suatu sikap penting yang perlu ditumbuhkan untuk pembangunan berkelanjutan. Wisata virtual akan menjadi marketing tool atau pemicu peningkatan wisata di masa normal baru,” katanya dalam diskusi Pojok Iklim, seperti dilansir dari laman KLHK, Sabtu (17/4).

Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Nandang Prihadi menyampaikan selama pandemi wisata alam ke kawasan konservasi ditutup untuk meminimalisir penyebaran covid-19, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas.

"Dampak penutupan wisata alam ini menyebabkan terhentinya operasional pelaku usaha wisata alam, hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan berkurangnya perputaran ekonomi dari kegiatan wisata alam di kawasan konservasi," tambahnya.

Di sisi lain, Nandang mengatakan, dengan adanya pandemi berdampak positif bagi alam, dan memberikan waktu untuk alam beristirahat dari hiruk pikuk pengunjung, dan memulihan ekosistem secara alami.

Dari pandemi ini, satu hikmah dipetik. Nandang menyampaikan, di masa depan, tren wisata harus memiliki strategi 3C (Community, Commodity dan Conservation).

"Commodity, yaitu bagaimana agar tidak tergantung pada Taman Nasional (TN) atau Taman Wisata Alam (TWA) tetapi harus ada alternatif obyek daya tarik wisata alam di sekitar TN dan TWA, karena akan ada pemberlakuan kebiasaan baru yang lebih ketat. Unsur Conservation di TN atau TWA seperti pembatasan mass tourism. Selanjutnya Community atau masyarakatnya perlu disiapkan dalam menghadapi kebiasaan baru,” jelas Nandang.

Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Murlan Dameria Pane mengatakan, meski tur virtual tidak sama dengan kunjungan fisik, hal itu bisa sedikit mengobati kerinduan kita terhadap objek wisata alam.

Untuk alasan itu juga, pihaknya selama ini rutin membuat video untuk mengobati kerinduan para calon pengunjung, tentang bagaimana cara mengunjungi TNTP dengan kebiasaan baru.

Sementara itu, Co-founder Jagaddhita dan 'Perkumpulan' untuk Interpretasi Indonesia ('P’InterIn), Wiwien T Wiyonoputri memaparkan, tur virtual memiliki spektrum layaknya warna.

Dari spektrum itu, imbuhnya, bentuk pengalaman tur virtual tidak dimaksudkan menggantikan pengalaman wisata yang sesungguhnya. Namun, bermanfaat bagi banyak orang dan tempat dengan keterbatasan.

"Dari spektrum karakter acara, Virtual Tour itu engaging dan interpretif, yang sangat memikat serta melibatkan pengunjungnya." tambahnya.

Founder Indonesia Ecotourism Network, Ary S Suhandi menegaskan, bukan hanya sebagai 'korban' pemanasan global, pariwisata juga ikut berkontribusi pada masalah ini. "Berdasarkan data Nature Climate Change (2018) yang disadur dari Sustainable Tourism International, pariwisata bertanggung jawab atas 8% emisi karbon dunia,” jelasnya.

Kehadiran tur virtual, katanya, dapat menjadi sarana untuk mengedukasi peserta tentang masalah lingkungan, konservasi dan sosial, juga penggalangan dana perbaikan lingkungan. Apalagi, isu-isu perubahan iklim dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan konten yang menarik untuk dikemas dan disampaikan ke audiens. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya