Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

KPPPA Rapat Kordinasi Cegah Perkawinan Anak

Suryani Wandari Putri Pertiwi
16/2/2021 13:50
KPPPA Rapat Kordinasi Cegah Perkawinan Anak
TEATRIKAL STOP KEKERASAN: Pemeran tampil pada aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Lhokseumawe, Aceh.(ANTARA/ Rahmad)

KASUS Wedding Organizer (WO) Aisha Weddings yang mengajak para perempuan untuk menikah di atas usia 12 tahun hingga maksimal 21 tahun menandakan bahwa perkawinan anak tetap menjadi permasalahan serius di Indonesia. Merespons hal itu, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Lenny N. Rosalin mengungkapkan bahwa kasus Aisha Weddings menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih intensif melakukan sosialisasi dan advokasi, serta menegaskan bahwa perkawinan anak tidak boleh terjadi.

“Kasus Aisha Weddings ini, menjadi tantangan bagi Kementerian PPPA untuk dapat merespons cepat dan mengawal isu pencegahan perkawinan anak, serta memastikan tumbuh kembang anak dapat berjalan optimal," kata Lenny dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Perkawinan Anak yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (16/2).

Menurutnya, rapat koordinasi ini menjadi langkah strategis ke depan bagi pemerintah untuk bersinergi menindaklanjuti kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dan praktik baik yang sudah dilakukan pilar pembangunan lainnya, seperti Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat, Lembaga Profesi, Dunia Usaha, dan Media Massa untuk menurunkan angka perkawinan anak hingga 8,74% pada 2024, bahkan menghapuskannya.

Ia menjelaskan perkawinan anak memiliki berbagai dampak negatif yang tidak hanya merugikan anak, maupun keluarga, tapi secara keseluruhan juga merugikan negara. Dampak negatif dari perkawinan anak inilah yang perlu terus-menerus disampaikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, anak, maupun semua pihak terkait.

Adapun berbagai dampak negatif dari perkawinan anak, yaitu meningkatnya angka anak putus sekolah akibat menikah, tingginya angka stunting, angka kematian bayi, angka kematian ibu, meningkatnya pekerja anak, adanya upah rendah, sehingga menimbulkan kemiskinan.

“Belum lagi dampak perkawinan anak lainnya seperti tingginya KDRT, kekerasan terhadap anak, terganggunya kesehatan mental anak dan ibu, munculnya pola asuh yang salah pada anak, hingga identitas anak yang tidak tercatat karena tidak memiliki akta kelahiran, sehingga memunculkan risiko terburuk yaitu terjadinya perdagangan orang,” tambah Lenny.

Masalah perkawinan anak merupakan masalah kritis mengingat masih banyak daerah di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak cukup tinggi. Pada 2019, diketahui ada sebanyak 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata angka nasional yaitu 10,82%.

Dari 2019 hingga 2020, telah terjadi penurunan angka perkawinan anak sebanyak 0,6%, dan diharapkan dapat terus menurun hingga 8,74% pada 2024. “Untuk itu, diperlukan upaya untuk menurunkan angka ini secara drastis bahkan menghapuskannya, sehingga Indonesia menjadi negara tanpa perkawinan anak. KPPPA sudah memasukan isu perkawinan anak sebagai indikator ke 7 (tujuh) dari 24 indikator Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA)," kata Lenny.

Ia mengatakan, Kemen PPPA juga telah melakukan beragam strategi secara masif yang tentunya memerlukan dukungan sinergi semua pihak, mulai dari melakukan sosialisasi webinar berseri, sosialisasi secara gencar melalui media sosial, mobilisasi melibatkan K/L, Lembaga Masyarakat, dan unsur lainnya.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Femmy Eka Kartika menegaskan bahwa promosi WO Aisha Weddings sangat membuat tidak nyaman, tidak mendidik, serta tidak pantas dilakukan karena melukai hati anak Indonesia yang sedang semangat mengejar cita-citanya menuju generasi emas 2045.

“Adanya ajakan untuk menikah siri dan mau dipoligami juga sangat melukai perempuan. Hal ini sangat memprihatinkan. Keyakinan Aisha Weddings mengenai perempuan harus mencari pasangan sejak usia 12 tahun merupakan keyakinan yang didasari pemahaman sempit dengan mengatasnamakan ajaran agama," ujarnya.

Padahal menikah di usia yang sangat muda bertentangan dengan tujuan syariat nikah itu sendiri, yaitu harus membawa kemaslahatan dan kebaikan bagi keluarga dan anak. "Kami mendesak pihak Kepolisian untuk mengusut siapa dibalik Aisha Weddings dan menindak oknum tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” tambah Femmy.

Sementara itu, Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati menuturkan bahwa ajakkan perkawinan anak oleh Aisha Weddings merupakan bentuk adanya pemahaman agama yang ideologis, yang juga menjadi salah satu penyebab maraknya perkawinan anak di Indonesia.

Menurut Rita, persoalan perkawinan anak merupakan permasalahan kultural yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah, diperlukan koordinasi dan kerja besar semua pihak agar optimal dalam melakukan pengawasan, serta pentingnya upaya pencegahan (preventif) perkawinan anak hingga level terkecil dalam masyarakat.

Untuk diketahui terkait proses penegakan hukum kasus Aisha Weddings, Perwakilan Bareskrim Polri tengah melakukan penelurusan untuk mencari siapa pemilik website ini dan menetapkan pidana tepat untuk menjerat pelaku. Ini mengingat tidak ada UU khusus yang mengatur ancaman pidana bagi perkawinan anak.(H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya