Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

UU Ciptaker Tidak Cantumkan Kuota Bagi Penyandang Disabilitas

Faustinus Nua
19/11/2020 12:00
UU Ciptaker Tidak Cantumkan Kuota Bagi Penyandang Disabilitas
PEMANTAPAN MEMIJAT: Para siswa tuna netra belajar memijat di Klinik PSBN Wyataguna Bandung, Senin (26/9)(ANTARA/ Agus Bebeng)

KOMISIONER Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan bahwa Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru disahkan beberapa waktu lalu rentan terhadap diskriminasi penyandang disabilitas. Pasalnya, sejumlah hak-hak disabilitas yang ada dalam UU Disabilitas tidak diintegrasikan ke UU Omnibus Law tersebut.

Salah satu yang disoroti adalah tidak dicatumkan kuota pekerja disabilitas sebagaimana tertera dalam UU Disabilitas. "UU Cipta Kerja tidak mencantumkam kuota 1% untuk penyandang disabilitas di perusahaan swasta dan 2% di BUMN/BUMD. Tidak tampak integrasi UU Disabilitas di situ," ungkap Rainy dalam diskusi Dampak UU Cipta Kerja terhadap Penyandang Disabilitas, Kamis (19/11).

Selain itu, dia menyoroti penggunaan diksi 'cacat' yang sering muncul dalam draft UU sapu jagad itu. Menurutnya, penggunaan kata 'cacat' berpotensi diskriminasi, sebab disabilitas sendiri menekankan pada hambatan fisik. Diksi tersebut pun berimplikasi pada pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Hal itu bertentangan dengan konvensi hak-hak penyandang disabilitas, bertentangan dengan UU no 8/2016 tentang disabilitas. Dan juga bertentangan dengan mandat pembangunan berkelanjutan.

"Karena di balik diksi itu ada penyingkapan yang berbasis hak, bahwa hak-hak disabilitas difasilitasi oleh negara di semua aspek agar dia bisa hidup secara inklusif dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat," jelasnya.

Rainy juga mengatakan bahwa terkait aksesibilitas, dalam UU Ciptaker tidak dicatumkan perlindungan terhadap pekerja perempuan, khususnya perempuan disabilitas. Tidak mengitegrasikan mekanisme perlindungan yang bisa berpotensi terjadi kekerasan dan diskriminasi.

Dia menambahkan, sistem pengupahan dalam UU baru tersebut juga akan bermasalah. Pasalnya pengupahan dengan satuan hasil dan waktu sangat tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Hal itu berpotensi mengabaikan kondisi pekerja, khususnya penyandang disabilitas yang bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja.

"Pemutusan kerja dipermudah hanya karena kondisi yang disebutkan cacat. Kondisi cacat karena kecelakaan kerja bisa dialihkan atau diberdayakan," pungkasnya.(H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya