Astaga, RUU Perlindungan PRT Sudah Dirancang sejak 20 Tahun Lalu

Ihfa Firdausya
22/7/2020 21:40
Astaga, RUU Perlindungan PRT Sudah Dirancang sejak 20 Tahun Lalu
Demonstran mendesak pengesahan RUU Perlindungan PRT dalam unjuk rasa di depan Gedung DPR, 2013 silam.(MI/M Irfan)

KOORDINATOR Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA) Lita Anggraini menyebut pihaknya telah merancang RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sejak 2000. Namun hingga kini, RUU tersebut belum juga disahkan menjadi undang-undang.

Menurut Lita, RUU PRT pertama kali masuk Prolegnas 2004. Akan tetapi hingga lima tahun setelahnya hanya diparkir di Prolegnas 2004-2009.

"Setelah melalui aksi-aksi, baru kemudian masuk dalam Prolegnas prioritas kembali pada 2010," kata dia dalam Forum Diskusi Denpasar 12 yang mengambil topik "Pentingnya Kehadiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT)", Rabu (22/7).

Untuk mempelajari RUU ini, lanjut Lita, komisi IX sudah melakukan kajian ke 10 kota, studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina, dan sudah uji publik di tiga kota.

"Hasilnya sudah sampai ke Baleg dan kemudian dihentikan di Baleg tahun 2014. Tahun 2014-2019 kembali hanya parkir sebagai Prolegnas," kisahnya.

Dia bersyukur RUU ini masuk lagi Prolegnas prioritas 2020. Sayangnya, RUU ini kembali diparkir di Baleg.

Menurut Lita, terdapat sejumlah urgensi agar RUU PRT segera disahkan. Untuk mencegah terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT, diperlukan sistem yang menjamin dan melindungi mereka.

"Perlindungan terhadap PRT ditujukan untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar dan kesejahteraannya PRT beserta keluarganya," jelasnya.

Lita mencontohkan hak-hak PRT antara lain mendapatkan upah sesuai perjanjian kerja, waktu istirahat jeda kerja, istirahat mingguan sekurang-kurangnya 24 jam dalam satu minggu, dan cuti tahunan 12 hari kerja per tahun.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari fraksi Nasdem, Willy Aditya, menjelaskan alasan RUU ini terparkir di Baleg. Menurutnya, masih ada penolakan dari kalangan pemberi kerja yang tidak hanya kalangan menengah atas tapi juga menengah bawah.

"Yang mereka takutkan adalah terjadinya formalisasi di sektor pekerja rumah tangga," katanya.

Selain itu, ada juga kehawatiran soal PRT yang dapat memenjarakan si pemberi kerja, dan lain-lain.

"Saya mengajak beberapa teman untuk membantu agar bagaimana ini tidak jadi momok. Bagaimana ini kemudian menjadi satu hal yang di satu sisi relasi kerjanya tetap terjaga, jaminan hak-haknya terpenuhi, tapi di sisi lain orang bisa menerima," ujarnya.

"Kita tetap berjuang, saya akan bersurat kembali kepada pimpianan untuk ini dibawa kembali ke paripurna pembukaan," pungkas Willy. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya