Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Keluarga, Benteng Pencegah Bunuh Diri dan KDRT Selama Pandemi

Atikah Ishmah Winahyu
22/6/2020 16:00
Keluarga, Benteng Pencegah Bunuh Diri dan KDRT Selama Pandemi
Ilustrasi(MI/Bayu Wicaksono)

KELUARGA memegang peran penting dalam mengendalikan kondisi psikologis seseorang selama masa pandemi covid-19. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Silverius Yoseph Soeharso mengatakan, wabah virus korona menimbulkan berbagai masalah yakni meningkatnya angka bunuh diri dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga menurunnya rasa percaya diri.

Pria yang akrab disapa Sonny itu menuturkan, seperti kasus di Jerman, Menteri Keuangan Negara bagian Hesse, Thomas Schaefer, melakukan bunuh diri karena cemas akan dampak penyebaran covid-19 pada perekonomian di negaranya. Sedangkan di Indonesia, pada Februari 2020, seorang warga negara Korea ditemukan tewas gantung diri di sebuah hotel di Solo karena khawatir dirinya terinfeksi virus korona.

Dia mengatakan, tindakan bunuh diri bisa terjadi pada seseorang yang mengalami stres dan depresi melewati batas ketahanannya. Informasi yang bergulir selama pandemi hingga kebijakan yang diberlakukan pemerintah seperti PSBB dan lockdown, turut menjadi stressor yang menimbulkan rasa tidak nyaman, cemas, dan curiga antara satu orang dengan yang lainnya.

“Secara psikologis, manusia punya daya tahan atau ketahanan mental, sehingga kalau ini melebihi bebannya, termasuk tidak didukung oleh keluarga, dikucilkan oleh masyarakat, ditakut-takuti, ini akhirnya menimbulkan depresi. Kalau depresi ini didiamkan maka ini akan menjadi niat untuk bunuh diri,” kata Sony dalam webinar nasional Pendidikan, Psikologis, Gizi, Hukum, dan Seks pada Masa Pandemi Covid-19, Senin (22/6).

Sedangkan pada kasus KDRT, Sonny menuturkan, berdasarkan laporan Women Crisis Center Yogyakarta, selama periode Januari-Mei 2020 telah terjadi sekitar 146 kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, jumlah perempuan yang mengakses layanan hotline selama pandemi meningkat berkali lipat dibanding pada hari biasanya.

Di Tiongkok, sebanyak 300 pasangan telah mengajukan perceraian sejak 24 Februari 2020 atau sejak kebijakan lockdown mulai diberlakukan. Faktor penyebabnya pun beragam yakni akibat suami dan istri tidak bisa mengelola emosi sehingga merasa frustasi dan stres, sering bertemu membuat kedua belah pihak justru menjadi lebih sering bertengkar, konflik yang kian membesar menimbulkan pertengkaran yang berlarut-larut. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, jutru tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya karena pasangan yang suka melakukan KDRT.

“Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok rentan bagi munculnya tindakan KDRT yang bisa berupa fisik, psikis atau verbal, ekonomi, dan kekerasan seksual,” tuturnya.

Sonny menjelaskan, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah KDRT dan timbulnya rasa depresi selama pandemi, yakni dengan memaksimalkan peran keluarga. Pasangan bisa melakukan hal-hal sederhana bersama di rumah seperti membersihkan rumah, menonton film, atau memasak, juga dengan melibatkan anak-anak sehingga terbangun rasa kebersamaan.

Membatasi diri dari informasi yang berlebihan, terutama hoax guna mencegah timbulnya rasa cemas dan khawatir. Lakukan kegiatan positif seperti meditasi, olahraga, dan relaksasi untuk mengurangi emosi dan perasaan tidak nyaman. Keluarga juga bisa meminta bantuan ahli psikologi/psikolog dalam meningkatkan keterampilan manajemen emosi.

Komunikasi antara pasangan dan orang tua dengan anak juga menjadi kunci penting dalam keharmonisan keluarga. Bicarakan setiap masalah dengan baik. Berikan me time atau waktu sendiri bagi setiap individu, saling membantu atau meringankan tugas di rumah satu sama lain, atur asupan nutrisi agar kebutuhan gizi keluarga tetap terpenuhi selama pandemi.

Baca juga: Masalah Ekonomi, Penyebab Meningkatnya KDRT di Masa Pandemi

Selain itu, pasangan juga bisa memanfaatkan waktu luang dengan membangun bisnis daring bersama dari rumah guna membantu perekonomian keluarga.

“Kita bisa menciptakan protkol keluarga sendiri. Saling mendukung, saling menyemangati, ayah menjadi pembimbing anak-anak yang kuliah, ibu jadi guru les. Jadi kita harus melakukan perluasan peran baik bagi istri maupun suami ketika di masa pandemi, misalnya suami membantu istri mencuci piring,” tukasnya.

Di samping itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan layanan konsultasi psikologi Sehat Jiwa (Sejiwa) yang disediakan pemerintah bagi perempuan dan anak yang mengalami depresi dan KDRT selama pandemi melalui hotline 119 ext 8.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Kristen Indonesia (UKI) Aarthe Tehupeiory menambahkan, selain dari sisi keluarga, KDRT juga dapat dicegah dari sisi regulasi. Menurutnya, regulasi yang ada saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih belum efektif untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyediakan regulasi tambahan.

“Dalam masa kenormalan baru ini seyogyanya diprioritaskan dalam regulasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sehingga hal demikian dapat mencegah terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga,” pungkasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya