Merkuri masih Bebas Beredar

PERDAGANGAN merkuri di Indonesia dinilai sangat bebas oleh Senior Advisor of Balifokus Yuyun Isnawati. Pihaknya menyarankan pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri yang telah ditandatangani pada 10 Oktober 2013 lalu. Pihaknya menaruh perhatian pada dampak merkuri yang berlangsung hingga ratusan tahun. Dikatakannya, perjanjian yang dilangsungkan di Jepang tersebut dianggap serius oleh Amerika Serikat (AS). "Tumben-tumbenan AS paling cepat untuk meratifikasi. Masak kita kalah?" ujarnya dalam konferensi pers ratifikasi Konvensi Minamasa tentang Merkuri, di Jakarta, kemarin.

Di Indonesia, lanjut Yuyun, perdagangan serta penggunaan merkuri sangat bebas karena unsur logam itu mudah ditemukan dan lebih dari 100 perusahaan dagang menjualnya. Padahal, Indonesia dalam perjanjian tersebut sudah menyatakan akan melakukan kontrol terhadap produk yang mengandung merkuri seperti kosmetik, termometer, dan bahan penambal gigi. "Hanya, kita belum memiliki kejelasan mengenai penggunaan merkuri di dalam industri, begitu juga pertambangan. "Dalam pertambangan, penggunaan merkuri juga banyak ditemukan dalam pertambangan emas skala kecil (PESK). Oleh karena itu, harus ada regulasi yang mengaturnya karena 37% emisi merkuri global berasal dari sektor tersebut. "Padahal, biaya untuk kesehatan akibat dampak merkuri sangat besar untuk ditanggung masyarakat," ucapnya.

Selain itu, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto menuding industri pembangkit listrik tenaga uap juga menjadi penyumbang pengeluaran emisi merkuri di Indonesia. Hal tersebut, dikatakannya, berasal dari proses pembakaran pembangkit energi tenaga fosil tersebut. Arif juga memberikan saran bahwa seharusnya pemerintah mulai mempertimbangkan penggunaan biotermal sebagai pembangkit tenaga listrik. "Indonesia sangat kaya akan sumber energi ini. Inilah yang harus kita manfaatkan karena energinya pun sangat bersih," ujarnya.