Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Perhutanan Sosial Sukses Tekan Ketimpangan Akses Hutan

Dhika Kusuma Winata
12/2/2019 19:39
Perhutanan Sosial Sukses Tekan Ketimpangan Akses Hutan
( ANTARA FOTO/ Kahfie kamaru/ama. )

KEBIJAKAN korektif pemerintah dalam tata kelola sumber daya alam khususnya kehutanan dan lingkungan selama lebih dari empat tahun terakhir menuai hasil.

Sejumlah terobosan dikerjakan antara lain melalui program perhutanan sosial dan reforma agraria. Tujuan untuk mengikis ketimpangan akses masyarakat terhadap sumber daya alam kini sudah terlihat dampaknya.

"Data pada 2014 menunjukkan bahwa kawasan hutan yang diberikan izin untuk swasta porsinya mencapai 98,5% dan masyarakat hanya 1,3%. Dalam kaitan itu maka kebijakan yang dikoreksi Presiden mengedepankan akses bagi masyarakat. Kini posisinya izin akses untuk masyarakat menjadi 13,4% dan swasta 86,3%," ungkap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Selasa (12/2).

Kebijakan korektif tersebut, imbuhnya, diwujudkan melalui program perhutanan sosial yang kini sudah 2,5 juta hektare hutan diberikan akses legal kepada 592.438 kepala keluarga.

Perhutanan sosial, jelas Siti, diberikan kepada masyarakat untuk pemerataan ekonomi dengan tetap menjaga prinsip kelestarian hutan. Masyarakat bisa mengelola hutan menghasilkan beragam produk kayu, non-kayu, perkebunan, perikanan, ekowisata, dan jasa lingkungan lainnya.

Baca juga : Pemerintah Serahkan SK Perhutanan Sosial Seluas 13.976 Ha

"Masyarakat merasa aman karena diberi akses legal. Dalam jangka menengah 3-5 tahun akan terasa dampaknya secara ekonomi. Saat ini saja petani yang sudah mengelola hutan sosial skema hutan kemasyarakatan (HKm) memiliki pendapatan perbulan/kapita sebesar Rp720.000. Itu di atas garis kemiskinan yang Rp45.000 perbulan/kapita," imbuhnya.

Adapun program reforma agraria yang dijalankan KLHK, imbuh Siti, antara lain melalui pelepasan kawasan hutan dan pemanfaatan lahan tidak produktif. Pihaknya telah mencadangkan 4,9 juta hektare untuk reforma agraria.

"Kebijakan korektif lainnya ialah implementasi moratorium hutan primer dan gambut. Tidak ada lagi pembukaan Iahan gambut baru (land clearing), serta moratorium izin baru untuk kepala sawit. Kita juga melakukan pengawasan pelaksanaan izin," imbuhnya.

Ia juga memaparkan tindakan tegas di era Presiden Jokowi terkait pelanggaran lingkungan, karhutla, mapun pembalakan ilegal. Menurutnya, baru di era pemerintahan Jokowi inilah diberlakukan penegakan hukum dengan sanksi administratif.

Menurut catatan KLHK, kurun waktu 2015-2018 sudah 541 sanksi administratif dilayangkan kepada perusahaan.

"Jadi untuk pertama kalinya ini dilakukan law enforcement dalam bentuk sanksi administratif. Kalau pelanggarannya keterlaluan terpaksa dibekukan bisnisnya, atau dicabut. Kalau masih bisa dibina, dibina," tegasnya.

Takh hanya sanksi administratif, kata Siti, penerintah juga menggugat perdata kasus pelanggaran hukum lingkungan. Hingga saat ini tercatat 18 perusahaan digugat. Sepuluh kasus di antaranya telah berkekuatan hukum tetap dengan nilai ganti rugi Rp18,3 triliun. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya