Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Sederet Musisi Indonesia Suarakan Darurat Lingkungan

Basuki Eka Purnama
03/7/2025 07:04
Sederet Musisi Indonesia Suarakan Darurat Lingkungan
Para musisi peserta workshop Iklim(MI/HO)

DI tengah tantangan lingkungan yang semakin mendesak di Indonesia, 15 musisi dari berbagai daerah dan genre, termasuk Kunto Aji, Reality Club, Teddy Adhitya, Sukatani, dan sejumlah nama lainnya, berkumpul di Ubud, Bali, untuk mengikuti rangkaian lokakarya.

Melalui Iklim (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab), para musisi ini mendalami berbagai isu tentang krisis iklim serta kaitannya dengan musik, kreativitas, dan refeksi pribadi. 

Dalam serangkaian lokakarya yang digelar selama lima hari tersebut, para musisi membahas akar penyebab krisis iklim, peran seni dan budaya dalam mendorong aksi, serta merumuskan langkah kolaboratif untuk mendorong perubahan nyata.

Lokakarya yang diselenggarakan The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab (Iklim) ini juga mempersatukan para musisi dari berbagai daerah dan lintas genre di Indonesia, termasuk Ave The Artist, Bunyi Waktu Luang, Chicco Jerikho, Egi Virgiawan, Majelis Lidah Berduri, Manja, Peach, Scaller, The Brandals, The Melting Minds, dan Usman and The Black Stones. 

Bersama-sama, mereka terlibat dalam diskusi dan kolaborasi artistik yang membahas berbagai isu lingkungan yang mendesak. Seperti ancaman terhadap kawasan Raja Ampat yang memicu gerakan #SaveRajaAmpat, ekspansi pertambangan nikel di Morowali, deforestasi, hingga ketergantungan Indonesia terhadap batu bara yang masih tinggi.

Gerakan Iklim sendiri telah berjalan sejak 2023 dan hingga kini telah melibatkan 43 musisi. 

Sejumlah musisi yang sebelumnya terlibat dalam album sonic/panic dan gerakan Iklim pada 2023 dan 2024 kembali berkontribusi tahun ini sebagai fasilitator dalam berbagai sesi dan membagikan pengalaman pribadi mereka terlibat dalam Iklim, seperti Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Iga Massardi, Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa, Petra Sihombing, Tuantigabelas, Stephanus Adjie dari Down For Life, Farid Stevy dari FSTVLST, Nova Ruth, serta Gede Robi dari Navicula yang juga merupakan co-founder gerakan Iklim. 

Kehadiran mereka memperkaya proses pembelajaran lintas generasi dan memperkuat semangat kolaboratif dalam menjawab tantangan krisis iklim melalui musik dan seni.

Bagi penyanyi dan penulis lagu ternama Kunto Aji, isu iklim memiliki resonansi yang kuat secara personal. 

“Saya tinggal di Tangerang Selatan dan setiap hari harus menghadapi kualitas udara yang buruk. Saya punya dua anak kecil dan saya ingin mereka tumbuh dengan udara yang layak, lebih baik dari yang mereka hirup hari ini,” ujarnya. 

“Udara itu kan gratis, tapi kenapa kita nggak bisa menikmatinya dengan baik? Kita tahu penyebab dan solusinya, tapi tidak ada tindakan nyata. Di situlah saya merasa perlu bertanya: sebagai musisi, apa yang bisa saya lakukan?” lanjutnya.

Di tengah krisis iklim yang kian kompleks, musik dan seni memainkan peran penting dalam membangun kesadaran dan mendorong aksi publik. Didampingi para pakar dari berbagai organisasi iklim, para musisi belajar bersama tentang isu lingkungan seperti energi, hutan, laut, hingga ruang hidup komunitas adat.

“Dari berbagai pemaparan dan diskusi selama lokakarya, saya jadi semakin paham bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan atau ekosistem, tetapi juga pada manusia, kebudayaan, dan struktur sosial kita. Sebagai musisi yang hidup dan berkarya di ruang-ruang sosial dan budaya, kami pun ikut terdampak. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk turut merespons isu ini, karena pada akhirnya, perubahan iklim juga memengaruhi kami secara langsung, baik sebagai individu maupun sebagai seniman,” papar Cipoy, gitaris Sukatani.

Sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan, kegiatan ini ditutup dengan penanaman pohon di Gianyar, Bali. Inisiatif ini menjadi langkah kolektif para musisi untuk mengimbangi jejak emisi karbon yang dihasilkan dari perjalanan dan rangkaian aktivitas selama seminggu penuh.

Bagi Faiz, vokalis, gitaris sekaligus penulis lagu dari band Reality Club, pengalaman selama lokakarya ini tidak hanya menginspirasi karya, tapi juga memantik refeksi personal yang mendalam. 

“Setelah mendapat banyak hard truth selama lokakarya, saya merasa terdorong untuk mulai mengubah hal-hal dalam hidup saya secara perlahan tapi konsisten. Saya juga ingin membagikan kesadaran ini ke orang-orang di sekitar saya, seperti fans, teman, dan keluarga, karena penting untuk saling mengingatkan soal peran kita dalam menjaga lingkungan,” ujarnya.

Setelah lokakarya berakhir, para musisi akan menerjemahkan pengalaman dan refeksi mereka selama lokakarya ke dalam karya musik baru. Lagu-lagu ini akan dihimpun dalam sebuah album kompilasi yang direncanakan rilis pada akhir 2025, sebagai bagian dari kampanye ‘No Music On A Dead Planet’ atau Tak Ada Musik di Planet yang Mati yang diinisiasi oleh Music Declares Emergency. 

Gerakan global ini juga didukung oleh sejumlah musisi dunia seperti Billie Eilish, Massive Attack, dan Tame Impala, yang sama-sama meyakini bahwa musik memiliki kekuatan untuk menyuarakan urgensi krisis iklim dengan cara yang kreatif, inklusif, dan menggugah. (Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya