Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Merchandise, antara Ekspresi Kreatif dan Daya Hidup Musisi

Fathurrozak
01/9/2024 05:25
Merchandise, antara Ekspresi Kreatif dan Daya Hidup Musisi
Raisa mengenakan kaos kolaborasinya dengan band Seringai.(Dok. JUNI GOODS)

APA pun konsernya, hampir ada saja penonton yang mengenakan kaus band Morfem. Selain itu, kaus band Seringai, khususnya kaus kolaborasi band metal itu dengan penyanyi pop Raisa, juga menjadi kaus merchandise yang kerap nongol di berbagai konser musik meski bukan menampilkan keduanya. 

Entah asli atau palsu, larisnya kedua kaus itu menunjukkan prestise tersendiri dari merchandise, atau biasa disebut merch, di kalangan penonton konser. Tidak hanya itu, digemarinya kaus merchandise menunjukkan potensi ekonomi yang tidak sepele bagi para musisi. Pamor musikus ditambah momentum lahirnya suatu merchandise bisa membuatnya menjadi barang koleksi yang terus diburu hingga bertahun-tahun ke depan.

CEO Juni Records sekaligus manajer Raisa, Adryanto Pratono (Boim), bahkan mengeklaim kaus Raisa x Seringai meruoakan salah satu merchandise paling laku di Indonesia. Dirilis delapan tahun lalu, kaus itu terus diporduksi hingga kini dan diperkirakan telah mencapai 15 ribu-16 ribu potong kaus.

Baca juga : KVIM dan A'Story Kerja Sama Periklanan dan Promosikan Industri Hiburan Korea

“Saking lakunya, itu juga yang jadi salah satu bahan 'gorengan'. Dijual lebih mahal dari harga aslinya kalau pas barangnya lagi enggak ada. Yasetidaknya, kaus Raisa x Seringai itu setahun bisa produksi 2.000 piece dan itu sudah dari delapan tahun lalu,” kata Boim saat dijumpai Media Indonesia di kawasan Jakarta Selatan, Rabu, (28/8/2024).

Juni Records, melalui lini merchandise Juni Goods, memang jadi salah satu label yang cukup getol dalam manajemen pernak-pernik musisi yang mereka naungi. Selain Raisa, artis terbaru mereka yang juga tengah naik daun, Bernadya, juga cukup sukses dalam penjualan merchandise. Dalam kurun dua bulan belakang, setidaknya sudah 3.000 potong kaus Bernadya terjual.

Vokalis dan gitaris grup band The Adams, Saleh Husein (Ale), mengatakan merchandise bahkan bisa menopang musisi dan band untuk bisa terus berkarya, termasuk merilis album rekaman. Ia pun menganggap lumrah jika ada ungkapan 'rilis t-shirt terus, tapi enggak pernah rilis album'. “Kayaknya enggak apa-apa juga selama laku. Lagunya enggak laku, tapi merch-nya laku, yalakukan saja,” kata Ale kepada Media Indonesia saat dijumpai di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Selasa (27/8).

Baca juga : Suga BTS dan Jimin Hampir Berkolaborasi dalam Album Face

The Adams juga memiliki tim khusus yang mengurusi merchandise. Ale mengatakan mereka tidak menargetkan merchandise untuk menjadi tulang punggung ekonomi band. Meski begitu, mereka menetapkan bahwa merchandise untuk bisa menghidupi kru band tersebut, khususnya tim merchandise sendiri.

“Tapi kalau berkaca sama band yang lain, yang lumayan juga kencang secara merchandise, itu juga bisa, bahkan sampai (buat) rekaman lo. Nah, terlepas dari manggung, gue rasa merchandise itu penting. Terlepas dari marketing, tapi dia juga jadi branding band-nya,” lanjut Ale yang juga personel grup band White Shoes and The Couples Company (WSATCC) itu.

Drumer grup band Sore, Bemby Gusti, juga mengamini pernyataan Ale yang memandang pentingnya merchandise bagi sebuah band dan musisi. Lini merchandise Sore bernama Setengah Limart terinspirasi dari salah satu lagunya, Setengah Lima

Baca juga : Koleksi Kolaborasi Blackpink-Starbucks Hadir di Indonesia Mulai 22 Juli

Bagi band indie seperti mereka, Bemby melihat merchandise bisa digunakan sebagai alat publikasi. Namun, dirinya mengungkapkan bahwa pos pendapatan terbesar tetap dari penampilan di panggung. “Gara-gara merch, banyak yang pakai Sore, kayak teman-teman komika di podcast-podcast, itu jadi seperti publikasi bagi kami atau lihat orang-orang di festival musik pakai baju kami. Jadi kebanggaan,” kata Bemby kepada Media Indonesia, Selasa (27/8) di Fatmawati, Jakarta Selatan.

 

Memorabilia

Baca juga : Eight Kembali Viral, Berikut Lirik dan Terjemahannya

Duo asal Bandung, Rasukma, yang digawangi Aulia Maghfirani Noor dan Shahreza Sendhang Rasendrya, juga salah satu grup musik yang turut mendistribusikan karya kreatif mereka melalui merchandise. Selain kaus, Rasukma pernah merilis liontin dalam edisi terbatas.

Bagi Aulia Maghfirani Noor (Adel), merch digunakan sebagai medium kenang-kenangan dari Rasukma ke pendengar mereka. Menjadi buah tangan yang bersifat personal dan bisa menjadi kepanjangan karya lagu mereka. 

Sejauh ini Rasukma memang tidak memfokuskan merch sebagai pendapatan utama. Dalam beberapa kali kesempatan, Rasukma biasanya merilis kaus dalam format prapesan (pre-order/PO) sejumlah 50-60 potong. Sementara itu, liontin, yang didasarkan dari salah satu lagu mereka, dirilis sekitar 50 buah.

“Penginnya ketika nanti bikin album, itu sebenarnya sudah ada beberapa lagu yang kami pikirkan, sepertinya lucu kalau menjadi inspirasi merch Rasukma. Menurut kami, merch bisa menjadi representasi dari lagu-lagu atau materi album kami. Jadi representasi musik kami,kata Adel kepada Media Indonesia, Rabu (28/8).

 

Ciri khas

Bagi para musisi dan band pemula, Boim mengungkapkan tidak ada salahnya untuk menjajal memproduksi merch. Namun, ia berpesan untuk tidak jor-joran pada kuantitas terlebih dahulu karena ditujukan untuk tes pasar. Dengan cara itu, band bisa melihat barang yang disukai dari pendengar mereka. Selanjutnya, band harus membentuk trademark merch mereka.

“Memang harus develop dulu. Bisa saja mungkin menonjolkan foto, atau font, atau lirik. Kalau trademark sudah terbentuk, itu akan lebih mudah untuk menentukan merch apa yang akan diproduksi selanjutnya,” kata Boim.

Sudah jualan merchandise sejak 2014, Boim melihat di Indonesia bentuk merchandise masih terbatas pada barang tertentu seperti kaus. Padahal, merchandise bisa dieksplorasi dengan pendekatan yang lebih kasual hingga menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Ia pun mencontohkan merchandise grup band asal Bandung, The Panturas, yang merilis berbagai produk seperti kemeja, kaus kerah polo ala golf, topi, korek api, hingga jas hujan. 

Melalui ‘merek’ Raisa, Boim beberapa kali merilis merchandise yang berkolaborasi dengan para seniman visual seperti Darbotz hingga Kamengski. “Merchandise memang masih jadi bagian kecil di mata rantai ekonomi musik. Tapi, buat musisi mayor, itu bisa jadi pemasukan besar,” terang Boim becermin dari beberapa kolaborasi merchandise Raisa bersama seniman yang bisa menghasilkan angka ratusan juta.

Merespons geliat merchandise di Indonesia, tahun lalu hadir Music Merch Festival (MMF) dan berlangsung di 16 kota, termasuk Padang, Bandung, Gunungkidul, Klaten, hingga Makassar. Tahun ini festival yang salah satunya digagas oleh Farid Stevy, vokalis Fstvlst, itu berlangsung di 20 kota dan dimulai pada 24 Agustus 2024. 

MMF dijalankan secara mandiri, dikelola oleh berbagai komunitas atau kolektif dalam jaringan bernama Arisan Warisan dan Jala Skena, dirayakan bersama pegiat musik dan merchandise. Dalam catatan kurator MMF 2024, Asrita Pinandita, disebutkan bahwa pertemuan antara musik dan merchandise perlu diinisiasi bersama sebagai cara pandang untuk merayakan titik juang bermusik.

“Penting untuk saling menjaga keberlangsungan skena musik sembari memastikan keterhubungan yang sama terhadap kecintaan antara penggemar dan band,” kata pengajar desain komunikasi visual (DKV) itu. “Beberapa (band) mungkin memprioritaskan kesuksesan komersial, tetapi yang jauh lebih penting ialah memprioritaskan ekspresi kreatif dan artistik sebagai daya hidup band,” tambahnya. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya