Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Bukan Soal Ekonomi Semata

Taufan SP Bustan
06/1/2021 04:05
Bukan Soal Ekonomi Semata
DIPERLAKUKAN MANUSIAWI: Basri alias Bagong, salah seorang gembong kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tertangkap(ANTARA/Basri Marzuki)

NAMANYA Muhammad Basri. Sehari-hari, ia dipanggil Bagong. Pria asal Poso, Sulawesi Tengah, itu juga dikenal sebagai tangan kanan Santoso, pemimpin teror dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur.

Nama Basri dipakai Direktur Eksekutif Celebes Institute Andriyani Badra sebagai salah satu contoh. Basri terlibat terorisme sejak 2000-an setelah keluarganya dibantai pada peristiwa Pesantren Walisongo.

Pada 2007, Basri ditangkap. Saat itulah, ia mulai menjalani program deradikalisasi. Namun, dendam masih bersarang di benaknya. Pada 2013, ia kabur dari penjara Ampana di Kabupaten Tojo Unauna dan bergabung dengan Santoso di belantara pegunungan Poso.

Kritik terhadap deradikalisasi pun dilayangkan Andriyani. "Program deradikalisasi pada umumnya menjadikan narapidana teroris sebagai objek. Program-program yang digulirkan, baik oleh pemerintah daerah, pusat, maupun LSM, kurang mengena karena tanpa diawali dengan basis riset ilmiah," tudingnya.

Alhasil implementasi program tidak memiliki konsep perencanaan yang baik, tidak menghasilkan pemetaan strategis, dan tidak ada pendampingan secara serius melalui training atau coaching clinic.

"Termasuk tidak terprogramnya evaluasi serta tidak adanya monitoring untuk mengukur pencapaian program. Ini yang terjadi di Poso, dan itu tidak bisa dibiarkan," terangnya.

Di Poso, desain deradikalisasi dinilainya tidak berbasiskan riset, juga tidak didukung asesmen yang sistematis. Akibatnya, hasil program tidak terukur.

"Contoh kasus, terdapat beberapa mantan narapidana teroris yang telah menjalani deradikalisasi dari pemerintah, tetapi kembali bergabung dengan jaringan kelompok radikal. Ini kan fakta yang tidak bisa dimungkiri," ungkapnya.

 

Bantuan modal

Sukarno Ahmad Ino terlibat dalam konflik komunal di Poso yang pecah pada 1998 hingga 2001. Setelah ditangkap, ia juga mengikuti kegiatan pemberdayaan yang diselenggarakan pemerintah maupun LSM. Kegiatan pemberdayaan itu kemudian disebut proses deradikalisasi.

Ia mengaku sudah tidak bisa menghitung banyaknya program deradikalisasi yang sudah diikutinya. Beberapa bentuk kegiatannya selalu dilengkapi dengan bantuan modal, pelatihan keterampilan, pemberian peralatan kerja, hingga akses pada proyek-proyek dari pemerintah daerah.

"Beberapa teman ada yang sudah berhasil. Mereka menjadi pengusaha dan kontraktor dari sejumlah proyek pemerintah," jelasnya.

Namun, ada juga yang tidak berhasil. Di antara mereka ialah mantan narapidana terorisme yang kemudian bergabung dengan kelompok sipil bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso.

Ino mengkritik deradikalisasi dengan pemberian proyek. Pendekatan ekonomi semata merupakan cara yang terlalu instan. "Pendekatan ekonomi justru memicu tumbuhnya kecemburuan sosial di antara para mantan napi terorisme dan mantan kombatan. Ada napi terorisme yang dapat proyek, sedangkan kombatan tidak."

Ia meminta pendekatan deradikalisasi diubah. Bukan dicekoki dengan ekonomi semata, tapi juga mengubah isi kepala para mantan narapidana terorisme.

 

Dapat proyek

Arifudin Lako juga tercatat sebagai salah satu mantan narapidana terorisme. Ia sudah mengikuti program deradikalisasi. Namun, ia menolak ketika harus bergabung dengan rekan-rekannya meminta proyek dari pemerintah daerah.

"Di Poso ada banyak pekerjaan atau proyek yang diberikan untuk kami maupun mantan kombatan. Proyeknya pun bervariasi, mulai dari proyek infrastruktur jalan, jembatan, dan pembangunan perkantoran," tambahnya.

Selain itu, ada juga proyek pengadaan barang dan jasa. Jumlah anggaran dari proyek yang diterima itu pun beragam, dari Rp200 juta sampai miliaran rupiah.

"Hampir setiap tahun pasti teman eks napiter dan eks kombatan itu terima pekerjaan. Ada yang ikuti lelang, ada juga yang diberikan secara penunjukan langsung dari Pemerintah Kabupaten Poso," ungkap Arifudin.

Arifudin tidak menerima proyek dari Pemkab Poso. Bukan tanpa alasan. Namanya tidak masuk daftar penerima proyek karena ia menolak jika hanya diberdayakan melalui pendekatan ekonomi semata.

"Memang semua orang butuh ekonomi yang baik. Bukan saya tidak mau atau menolak proyek, tapi cara-cara pemberdayaan seperti itu kurang tepat menurut saya," ujarnya.

Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Rusli Baco Dg Palabbi mengakui tidak semua mantan narapidana terorisme dan kombatan yang mendapat pekerjaan dari pemerintah daerah. "Mereka mampu. Ada persyaratan dan aturan yang harus dipatuhi."

Kebanyakan penerima selama ini, lanjut dia, karena mereka mendirikan perusahaan dan berkelompok. "Syaratnya memang harus ada perusahaan. Kalau tidak punya, bagaimana bisa dikasih pekerjaan?" (Ant/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya