Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Surplus Perdagangan RI Dinilai Bisa Jadi Bantalan Ketahanan Ekonomi

Insi Nantika Jelita
27/8/2025 11:54
Surplus Perdagangan RI Dinilai Bisa Jadi Bantalan Ketahanan Ekonomi
Ilustrasi.(Antara Foto)

KEPALA Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan surplus perdagangan barang yang sudah berlangsung selama 62 bulan berturut-turut menjadi bantalan utama ketahanan ekonomi eksternal Indonesia. 

Sektor tradables atau sektor penghasil barang dinilai mampu menghasilkan devisa secara konsisten, meskipun menghadapi pelemahan siklus komoditas dan permintaan global yang tidak menentu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia mengalami surplus sebesar US$19,48 miliar sepanjang Januari–Juni 2025. Angka ini naik US$3,90 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Surplus ini membuat Indonesia terus mencatatkan kinerja positif sejak Mei 2020. Rinciannya, ekspor pada Januari-Juni 2025 mencapai US$135,41 miliar, lebih tinggi dibandingkan impor sebesar US$115,94 miliar.

"Surplus dagang kita yang berlangsung selama 62 bulan berturut-turut jelas mencerminkan ketahanan eksternal Indonesia," ujar Josua kepada Media Indonesia, Rabu (27/8).

Menurut Josua, surplus ekspor bekerja sebagai bantalan stabilitas melalui dua kanal utama. Pertama, kanal suplai valas, di mana penerimaan devisa ekspor menambah pasokan dolar di pasar, mengurangi kebutuhan intervensi Bank Indonesia, dan membantu meredam volatilitas rupiah. Kedua,  sambungnya, kanal fundamental, di mana semakin besar surplus barang maka semakin kecil defisit transaksi berjalan, sehingga persepsi risiko eksternal membaik.

Meski demikian, menurutnya daya tahan surplus ini berubah mengikuti siklus. Pada kuartal I-2025, surplus barang sebesar US$12,99 miliar mampu menutup sekitar 88% defisit jasa dan pendapatan primer. Namun pada kuartal II-2025, daya tutup turun menjadi 69%, seiring meningkatnya impor dan pembayaran pendapatan primer musiman. 

Josua menuturkan dalam jangka pendek nilai rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh aliran dana investasi (portofolio) dibandingkan surplus perdagangan. Seperti di kuartal II-2025, meski Indonesia masih mencatat surplus perdagangan barang, rupiah tetap tertekan karena banyak investor menarik dananya keluar akibat kondisi global yang penuh ketidakpastian, seperti risiko perang dagang baru dan gejolak geopolitik.

Ke depan, ada beberapa risiko yang bisa melemahkan surplus ekspor. Misalnya, ekspor bisa kembali normal setelah peningkatan besar di paruh pertama 2025, defisit jasa yang dipengaruhi ongkos angkut dan pariwisata, serta pembayaran dividen dan bunga yang biasanya meningkat secara musiman sehingga menekan neraca pendapatan primer.

Meski begitu, ia mengatakan proyeksi dasar masih menunjukkan defisit transaksi berjalan (CAD) di 2025 berada pada level aman, sekitar -0,81% PDB. Selain itu, peluang pelonggaran kebijakan The Fed dapat menarik kembali aliran dana portofolio asing, sehingga membantu menutup defisit finansial sekaligus menjaga stabilitas rupiah dan cadangan devisa.

"Artinya, surplus ekspor tetap menjadi penopang utama stabilitas eksternal Indonesia," tegasnya. 

Namun, lanjut Josua, dampaknya akan lebih kuat jika diiringi perbaikan neraca jasa seperti logistik dan pariwisata, peningkatan reinvestasi penanaman modal asing atau FDI untuk mengurangi kebocoran pendapatan primer serta koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal guna menjaga kepercayaan pasar. (H-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya